BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap agama memiliki ajaran dan penyampai ajaran
tersebut. Ajaran ini diterima, dicatat, dan diabadikan. Lebih penting lagi,
ajaran agama harus dipraktekkan. Suatu ajaran tidak bisa dipraktekkan tanpa
pemahaman. Dalam memahami ajaran Islam, diperlukan studi hukum Islam. Begitu
pemahaman telah diperoleh, ternyata prakteknya tidak mudah. Praktek ini
berhadapan dengan realitas sosial. Untu mempermudah prakteknya, perlu studi
hukum Islam. Dengan demikian, studi hukum Islammengantarkan umat Islam dalam
memahami ajaran Islam. Yang pertama menggunakan Ilmu Ushul Fikih dan yang
terakhir memerlukan Ilmu Fikih. Kedua ilmu ini merupakan studi hukum Islam.
Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang kompilasi
dan kodifikasi hukum Islam serta lembaga-lembaga fatwa yang berkembang di
Indonesia. Hal ini sangat penting karena dalam agama tidak terlepas dari
masalah aturan atau hukum yang dijalankan bagi pemeluk aga Islam itu sendiri,
dan untuk dijadikan sebuah kajian yang dapat mengembangkan ilmu dan pengetahuan
bagi umat Islam.
B. Permasalahan
a.
Apa
pengertian dari kodifikasi dan kompilasi Hukum Islam?
b.
Apa
perbedaan dari dari kodifikasi dengan kompilasi Hukum Islam?
c.
Apa
saja lembaga fatwa yang dimiliki oleh pemerintah dan bagaimana kedudukannya
dalam hukum Islam?
C. Tujuan
a.
Memenuhi
tugas makalah matakuliah Studi Hukum Islam
b.
Menambah
pengetahuan tentang Hukum Islam pada umumnya dan tentang Kompilasi dan
Kodifikasi Hukum Islam pada khususnya.
c.
Menambah
pengetahuan tentang lembaga fatwa yang dimiliki pemerintah atau organisasi
masyarakat dan kedudukannya dalam hukum Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kompilasi
dan Kodifikasi Hukum Islam
1. Kompilasi
a. Pengertian
Kompilasi Hukum Islam
Dalam
bahasa Inggris terdapat istilah Compilation of Law atau Himpunan Undang-undang.
Selain itu Compilation dpat diartikan sebagai book (buku)atau corpus (Nicchols
dan Shadiliy, 175:b123). Dengan perkataan lain, kompilasi merupakan suatu
koleksi. Kata ‘kompilasi’ berasal dari latin campilare, (dalam bahasa inggris
berarti to heap together atau menghimpun menjadi satu kesatuan) (Tony smith,
2000: 235). Dari rumusan-rumusan tersebut, dapat diartikan bahwa kompilasi
merupakan himpuna materi hukum dalam satu buku, atau lebih tepat lagi himpunan
kaidah islam yang disusun secara sistematis selengkap mungkin dengan rumusan
kalimat atau pasal-pasal yang lazim digunakan dalam peraturan
perundang-undangan. [1]
Sehingga dapat disimpulkan, kompilasi
hukum Islam, yakni kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang
disusun secdara sistematis yang terdiri dari tiga buku.[2]
b. Sejarah
Pengkompilasian Hukum Islam
Implementasi hukum Islam bagi umat
Islam kadang-kadang menimbulkan pemahaman
yang berbeda. Hukum Islam yang diterapkan di Pengadilan
Agama cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat para ulama dalam hamper setiap persoalan[3].
Disamping itu kadang-kadang masih adanya kerancuan dalam memahami fiqh , yang dipandang sebagai hukum
yang harus diberlakukan, bukan sebagai pendapat (doktrin, fatwa) ulama yang dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
Dalam menyusun kompilasi ini pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan sangat diperhatikan oleh panitia,
terutama mengenai hal-hal
yang termasuk ke dalam kategori ijtihadi.
Di sisi lain penyusunan KHI (sebagai norma hokum yang
akan diterapkan
di Indonesia) ada kaitannya dengan pemenuhan komulasi dimensi horizontal dan transcendental. Sebab pada akhirnya hokum itu hanya mungkin berlaku efektif dalam masyarakat
(aplikasi dimensi horizontal), apabila hokum itu mencerminkan nilai-nilai
yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tempat hokum itu diberlakukan. Apabila ada produk hukum
yang tidak sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa
Indonesia (terutama oleh umat Islam, yang merupakan jumlah mayoritas), maka konsekuensinya,
hokum itu pasti tidak akan
bisa dilaksanakan, sebagaimana seharusnya hokum berlaku. Sebaliknya apabila hokum itu mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang hidup dalam masyarakat , maka hokum itu akan mudah diterima dan dilaksanakan oleh mereka . Karena pada dasarnya penegakan hokum dan keadilan tergantung kepada tiga komponen pokok, yaitu (1) diperlukan adanya peraturan hukum
yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, (2) adanya aparat penegak hukum yang professional dan bermental tangguh atau memiliki integritas
moral yang tinggi, (3) adanya kesadaran hokum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hokum tersebut[4].
Jadi lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), merupakan rangkaian lanjutan dalam upaya penyajian referensi materi hukum
Islam yang seragam bagi semua hakim di lingkungan Peradilan Agama
dan instansi terkait,
khususnya bidang HukumPerkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum Perwakafan
.Landasan Yuridis lahirnya KHI kembali pada rumusan
tentang perlunya
hakim memperhatikan kesadaran hokum masyarakat sebagaimana diisyarat kan oleh pasal 27 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 yang berbunyi :
Hakim sebagai penegak hokum dan keadilan wajib menggali
, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat,
Selain landasan yuridis, KHi juga disusun berdasarkan landasan fungsional . KHI adalah fiqh
Indonesia yang disusun dengan memperhatikan kondisi kebtuhan hokum umat islamIndonesia, ia bukan merupakan madzab baru,
tapi ia mengarah kepada menyatukan
(unifikasi) berbagai pendapat madzhab dalam hukum Islam, dalam rangka upaya menyatukan persepsi para hakim tentang hukum Islam , menuju kepastian hokum bagi umat
Islam .
Sejak dikeluarkannya instruksi presiden dan Keputusan Menteri Agama tersebut, berarti KHI telah memperoleh kekuatan dan bentuk yuridis untuk digunakan dalam praktek
di pengadilan agama, atau oleh instansi pemerintah lainnya dan masyarakat yang memerlukan dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam bidang
yang telah diatur oleh KHI adalah bidang hokum perkawinan , hokum kewarisan dan hokum perwakafan yang sistematisnya adalah sebagai berikut
:
Ø
Buku I
tentangHukumPerkawinan : 170 pasal (pasal 1 s.d. 170)
Ø
Buku II
tentangHukumKewarisan : 44 pasal (pasal 171 s.d. 214)
Ø
Buku III
tentangHukumPerwakafan : 15 pasal (pasal 215 s.d. 229)
Kalau pasal-pasal kompilasi hukum
Islam tersebut dipelajari dengan seksama , segera terasa bahwa isinya selain mengandung garis-garis hokum atau bagian-bagian hukum Islam yang sudah meresap ke dalam dan menjadi kesadaran hokum masyarakat muslim,
juga mengandung hal hal baru
yang bercorak Indonesia, misalnya untuk menyebut sekedar contoh ahli waris pengganti
, wasiat wajib untuk anaka ngkat
.
Dari uraian tersebut
di atas , dapat juga disimpulkan bahwa sumber penyusunan hukum Islam dalam kompilasi ini selain (1) wahyu yang terdapat dalam Alquran,
(2) Sunnah Rasulullah yang terdapat dalam kitab kitab hadis juga, (3)
ra’yu (akal pikiran) melalui ijtihad yang tercemin dalam kitab-kitab fiqih, pendapat para ulama
Indonesia, yurisprudensi Peradilan
Agama, hasil studi perbandingan negara-negara lain, serta peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dan perwakafan tanah milik di Indonesia[5]
2. Kodifikasi
Hukum Islam
Dalam
Bahasa Latin, code atau codex berarti “a systematically arranged and
comprehensive collection of laws” yang
berarti himpunan peraturan hukum secara lengkap yang disusun secara sistimatik.
Maka kodifikasi (codification, codificatie,) berarti perbuatan atau pekerjaan
mengkodifikasikan atau menghimpun hukum atau peraturan ke dalam suatu kitab
hukum secara sistematik (to systematize and arrange (laws and regulations) into
a code).[6]
Fockema
Andreas mengartikan bahwa codificatie adalah: “Het samensellen en invoeren van
systimatisch ingerichte wetboeken (codices) voor rechtsgebieden van enige
omvang.” (menyusun dan membawa masuk secara teratur dan sistimatik ke dalam
kitab undang-undang dalam bidang hukum dengan ruang lingkup yang luas).[7]
M.J.
Koenen dan J.B. Drewes mengartikan codificatie sebagai vereniging van
verschillende voorschriften tot een wet; het opstellen van een wetboek
(menyatukan berbagai peraturan ke dalam suatu undang-undang; menyusun kitab
undang-undang).
Henry
Campbell Black mengartikan bahwa: codification
adalah the process of collecting aand arranging systematically, usually by
subject, the laws of a state or country, or the rules and regulations covering
a particular area or subject of law or practice.... The product may be called a
code, revised code or revised statute. (proses mengumpulkan dan menyusun secara
sistematik hukum-hukum negara atau peraturan dan regulasi yang mencakup bidang
tertentu atau subyek (isi) hukum atau praktik, yang biasanya menurut subyek (isi)nya.[8]
Dari
berbagai kutipan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kodifikasi adalah
proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik berbagai hukum, regulasi atau
peraturan di bidang tertentu yang ditetapkan oleh negara. Produk dari kegiatan
kodifikasi dapat berupa kitab undang-undang.
Ø Asal
Usul Kodifikasi
Mengkodifikasikan
undang-undang merupakan salah satu kegiatan pembangunan hukum yang merujuk
kepada produk hukum abad ke 18 dan 19, yang ditandai dengan lahirnya Kodifikasi
Napoleon yang diikuti dengan berbagai kodifikasi di Jerman, Belanda, Italia,
dan Indonesia. Namun, sebenarnya kegiatan para ilmuwan hukum di bidang
kodifikasi telah ada sejak zaman Imperirum Romawi, jauh sebelum Masehi.
Dalam
filsafat hukum alam yang berlatar belakang Plato dan Aristoteles terdapat
semacam teori bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja berdasarkan pada
perjanjian yang dibuat dengan rakyat, yang intinya rakyat bersedia menyerahkan
hak-hak mereka pada raja, setelah mereka bersepakat terlebih dahulu (pactum
subjectionis) .Sebelum perjanjian itu dibuat mereka sepakat lebih dahulu bahwa
hak-hak mereka telah diserahkan kepada koltivitas (pactum unionis).Sebelum
paham hukum alam itu dikembangkan oleh Hobbes, Locke dan Rousseau yang sering
dihormati sebagai bapak verdragstheorie, hukum rumawi yang membentuk hukum
dengan memperhtikan faktor-faktor atau kondisi moral, politik, dan sosiologi
masyarakat. Hukum Rumawi yang religious dan agraris uyang dituangkan dalam
normatif yuridis, dalam arti hukum dipandang sebagai norma. Sejak awal sampai
akhir, perkembangan hukum Rumawi adalah bersandarkan kodifikaasi, yaitu yang
dimulai dengan kodifikasi yang disebut twaalftafelen (meja atau batu hukum dua
belas) dan diakhiri juga dengan kodifikasi yaitu yang disebut Corpus Iuris Civilis.
Menurut
Djoklosoetono, kodifikasi terbesar sepanjang sejarah hukum yang tidak ada
bandingannya sampai sekarang, terjadi akibat adanya dua lapisan rakyat
(standen) yang disebut Res Mancipi dan Emancipatio, yang diwujudkan dengan kelompok
(golongan) patriciers dana golongan plebeyers yang selalu terjadi konflik
karena tidak ada persamaan hak. Golongan patriciers menguasai.
3. Perbedaan
Kodifikasi dengan Kompilasi
Secara
teknis yuridis kedua istilah tersebut agak sulit dibedakan. Namun dengan
memperhatikan definisi tentang compilation dapat diketahui kata tersebut
berarti “a bringing together of preexisting statutes in the form in which they
appear in the books, with the removal of sections which have been repealed and
the substitution of amendments in arrangement designed to facilitate their
use.” (membawa bersama-sama undang-undang yang ada sebelumnya dalam format yang
muncul dalam buku, dengan menghapus bagian-bagian yang telah dicabut dan
penggantian dari perubahan dengan susunan yang didesain untuk menfasilitasi
pemakaiannya). Jadi kompilasi dilaksanakan terhadap berbagai aturan yang sudah
ada sebelumnya (preexisting statutes) dengan menjelaskan bagian mana (pasal
atau paragraf) yang sudah dicabut berikut substitusi (penggantian)nya.
Dari
berbagai definisi di atas terlihat bahwa kodifikasi pada dasarnya bukanlah
membuat undang-undang atau peraturan yang baru melainkan mengumpulkan dan
menyusun peraturan yang sudah ada di bidang tertentu secara sistimatik. Namun
dalam perpestif sejarah, seperti akan diuraikan di bawah ini, terdapat kesan
bahwa kodifikasi berarti membentuk suatu undang-undang atau peraturan.
B.
Lembaga Fatwa
1. Pemikiran Hukum Islam dalam Lembaga-lembaga Keagamaan
Indonesia tidak mengenal jabatan mufti dan lembaga
fatwa negara. Ketiadaan lembaga fatwa resmi memberikan berbagai implikasi,
antara lain ketidakpastian suatu masalah dilihat dari sudut hukum Islam
sehingga sering membuat bingung masyarakat dan negara.
Tahun-tahun terakhir ini, pertanyaan tentang hukum Islam
semakin ramai ditanyakan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sekarang telah melebar
dan berskop nasional. Penyebarannya terutama dibantu oleh berbagai media masa
elektronik dan tulis melalui acara atau rubrik tanya-jawab agama untuk umum.
Variasi pertanyaan ini menunjukkan minat masyarakat yang semakin besar terhadap
hukum Islam dan kesadaran masyarakat untuk menjadikan hukum Islam sebagai norma
pengatur kehidupan.
Kesan umum yang tampak dari acara tanya-jawab ini, setiap
orang dapat memberikan fatwa, padahal fatwa seharusnya hanya diberikan oleh
orang yang ahli dalam bidang hukum Islam. Mufti sebenarnya adalah kata lain
dari mujtahid atau pengungkap dan perumus hukum Islam. Mufti dan
mujtahid terkenal adalah empat atau lima imam mazhab yang berkembang di dunia
Islam sampai saat ini: Imam Maliki, Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hanbali dan
Imam Jafari (Syiah).
Indonesia tidak mengenal jabatan dan lembaga fatwa
resmi. Pada tingkat nasional, di negeri ini terdapat Komisi Fatwa MUI, dan pada
tingkat keormasan Islam terdapat lembaga fatwa seperti Lajnah Tarjîh
Muhammadiyah, Lajnah Bahsul Masa’il NU, Dewan Hisbah Persis, dan lain-lain.[9]
Untuk mengetahui pemikiran hukum dalam lembaga
keagamaan, perlu penelusuran fatwa-fatwa yang dikeluarkan lembaga yang
bersangkutan. Melalui fatwa, latar belakang pemikiran yang melandasi suatu
keputusan hukum dapat digali. Ada empat organisasi pembuatan fatwa yang akan
akan ditelusuri : persatuan islam (persis), nahdhatul ulama (NU), muhammadiyah,
dan majelis ulama Indonesia (MUI).
a.
Persatuan
islam (persis)
Sebagai
organisasi Islam, Persis mempunyai tujuan utama untuk memberlakukan hukum Islam
di tengah masyarakat, sebagaimana tuntunan Al-Quran dan Hadis di masyarakat.
Menurut Tafsir Qanun Asasi
Persis, pada mulanya Persis, yang terbentuk dan berdiri pada masa penjajahan
kolonial Belanda itu, tidaklah didasarkan atas suatu kepentingan atau kebutuhan
masyarakat pada masa itu. Para pendirinya mendirikan organisasi ini karena
terpanggil oleh kewajiban dan tugas risalah dari Allah SWT, sebagaimana
Rasulullah SAW berdiri di atas bukit Shafa untuk menyatakan kerasulannya
tidaklah berdasarkan atas kepentingannya.
Menurut Dadan Wildan, para pendiri
Persis menilai bahwa masyarakat Islam Indonesia ketika itu tidak membutuhkan
suatu perombakan tatanan kehidupan keislaman. Namun, mereka melihat bahwa
sebagian besar umat Islam telah tenggelam dalam ‘buaian’ taklid, jumud,
khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, dan paham-paham sesat lainnya. Karena itu,
tulis Wildan, Persis berdiri atas dasar kewajiban terhadap tugas Ilahi untuk
mengubah kemandekan berpikir dan membuka ketertutupan pintu ijtihad.[10]
Fatwa-fatwa
persis mayoritas merupakan karya tokoh pendirinya, yaitu ahmad Hassan
(1887-1958). Karyanya sering direpresentasikan sebagai “agresif”, “pluritan”,
dan “ekstrim”. Ia menolak kompromi dan negosiasi. Ia juga menggunakan kata
“bodoh” dan “pembohong” untuk menggambarkan para penentangnya. Dalam
fatwa-fatwanya, ia menyajikan sebuah contoh “literalisme” murni. “literalisme”
yang dimaksud adalah metode pembacaan ahmad Hassan terhadap teks-teks dasar
agama yang mengandung syariat (sumber dasar), fiqih, bahasa, dan hadis. Dua hal
yang terakhir merupakan hal utama dalam pandangan persis. Tentu saja ada
keterkaitan antar bahasa dan hadis : tata bahasa dan etimologi merupakan
fondasi, sementara hadis adalah perangkat riwayat lisan dan tulisan.[11]
b.
Muhammadiyah
Organisasi ini berdiri pada 1912 dengan bagian yang
mewadahi perempuan, yaitu aisyiyah yang berdiri pada 1918. Organisasi ini mulai
mengeluarkan fatwa pada 1927. Muhammadiyah mendasarkan islam pada ijtihad,
tetapi mereka memahami konsep ini secara agak berbeda.
Dalam
pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104
yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh
Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan
dakwah Islam secara teorganisasi.[12]
Dasar-dasar
ideology muhammadiyah terletak pada gagasan tentang tujuan syariah, yakni hukum
yang memiliki tujuan, objek yang harus diidentifikasi, dan
diimplimentasikannya. Tujuannya adalah kepentingan umum dalam pengertian yang
luas. Namun tidak seperti ideology-ideologi sekuler, muhammadiyah dibatasi oleh
al-qur’an dan sunnah serta keterbatasan akal. Dalam hal ini, logika yang
menyertai wahyu, sehingga seseorang harus bekerja dalam batasan-batasan wahyu.
Karena itu, muhammadiyah tidak terkooptasi oleh madzab tertentu.
Untuk mencapai fatwa, muhammdiyah berusaha
menggabungkan beberapa unsure. Pertama, sumber utama adalah al-qur’an dan
sunnah. Kedua, ketika masalah tidak dapat diidentifikasi dengan jelas, sejumlah
metode dapat digunakan untuk menemukan kemaslahatan, tetapi tidak boleh menurunkan
derajat sumber utama. Ketiga, qiyas hanya bisa diterapkan pada lingkungan baru
dan tidak dapat digunakan untuk menjatuhkan peraturan yang ada. Keempat, istihsan, yakni pinsip kebenaran
yang dapat ditemukan dengan akal. Kelima istishlah, kepentingan umum. Keenam,
mencegah sarana-sarana untuk melakukan tindakan yang salah.[13]
c.
Nahdlatul
ulama (NU)
NU berdiri pada 1926. NU mempunyai sejarah yang
panjang mengenai fatwa. Fatwa-fatwa tersebut dikeluarkan bagi para warga NU dan
bersifat mengikat secara teori. NU member perhatian terhadap metedo yang benar
dalam mengeluarkan fatwa.
d.
Majelis
Ulama
Indonesia (MUI)
MUI berdiri pada 1975 atas inisiatif pemerintah.
Tujuannya adalah menegakkan dan mengontrol ekspresi publik tentang islam di
bawah bantuan Negara (dalam hal ini, departemen agama).
MUI adalah organisasi tingkat nasional. MUI memiliki
kepengurusan dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten, hingga kecamatan. Secara
teori, MUI di propinsi merupakan subordinat dari kebijakan yang dibuat pada
tingkat nasional. Tujuannya adalah untuk menciptakan keseragaman skala nasional
dalam ekspresi praktis ajaran islam. Kenyataannya, MUI propinsi tidak jarang
bertindak atas inisiatifnya sendiri.
a. Dasar-dasar
fatwa adalah :
Ø Al-Qur’an
Ø Sunnah
Ø Ijma’
Ø Qiyas
b. Pembahasan
masalah yang memerlukan fatwa harus mempertimbangkan :
ü Dasar-dasar
fatwa merujuk ke atas.
ü Pendapat
para imam mazhab mangenai hukum islam dan pendapat para ulama terkemuka
diperoleh melalui penelitian terhadap penafsiran Al-qur’an.
ü Pembahasan
yang merujuk keatas adalah metode untuk menentukan penafsiran mana yang lebih
kuat dan bermanfaat sebagai fatwa bagi masyarakat islam.
ü Ketika
suatu masalah yang memerlukan fatwa tidak dapat dilakukan seperti prosedur di
atas, maka harus ditetapkan dengan penafsiran dan pertimbangan (ijtihad).
c. Mereka
yang mempunyai otoritas untuk menangani
fatwa adalah sebagai berikut :
1) MUI
Pusat berkaitan dengan :
a) Masalah
keagamaan yang bersifat umum dan berkaitan dangan masyarakat islam Indonesia
secara umum.
b) Masalah
keagamaan yang relevan dengan wilayah tertentu yang dianggap dapat diterapkan
diwilayah lain.
2) MUI
tngkat propinsi berkaitan dengan masalah keagamaan yang sifatnya local dan
kasus kedaerahan, tetapi setelah berkonsultasi dengan MUI Pusat dan Komisi
Fatwa.
d. Siding
komisi fatwa harus dihindari para anggot komisi fatwa yang telah diangkat
pimpinan pusat MUI dan pimpinan MUI propinsi dengan kemungkinan mengundang para
ahli jika dianggap perlu.
e. Sidang
komisi fatwa harus diselenggarakan ketika :
Ø Ada
pemerintah atau kebutuhan yang dianggap MUI memerlukan fatwa.
Ø Permintaan
atau kebutuhan tersebut bisa dari pemerintah, lembaga-lembaga social, dan
masyarakat atau MUI sendiri.
f. Sesuai
dengan aturan sidang komisi fatwa, bentuk fatwa yang berkaitan dengan masalah
tertentu harus diserahkan ketua komisi fatwa kepada ketua MUI nasional dan
propinsi.
g. Pimpinan
pusat MUI nasional / propinsi akan merumuskan kembali fatwa itu kedalam bentuk
sertifikat keputusan penetapan fatwa.
Sumber–sumber fatwa diatur secara hierarkis, seperti
dalam komisi fatwa nasional dan propinsi. Pada praktiknya, fatwa MUI bersandar
terutama kepada al-qur’sn hadist yang disertakan dalam beberapa kasusus, tetapi
tdak semuanya dengan rujukan kepada kitab-kitab fikih.[14]
BAB
III
PENUTUP
Dari penjelasan di atas tentang kompilasi dan kodifikasi
Hukum Islam serta lembaga fatwa, dapat disimpulkan beberapa hal, kompilasi
hukum Islam yakni kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun
secdara sistematis yang terdiri dari tiga buku.
Sedangkan kodifikasi Hukum Islam kodifikasi
adalah proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik berbagai hukum,
regulasi atau peraturan di bidang
hukum Islam yang ditetapkan oleh negara. Produk dari kegiatan
kodifikasi dapat berupa kitab undang-undang.
Indonesia
tidak mengenal jabatan dan lembaga fatwa resmi. Pada tingkat nasional, di
negeri ini terdapat Komisi Fatwa MUI, dan pada tingkat keormasan Islam terdapat
lembaga fatwa seperti Lajnah Tarjîh Muhammadiyah, Lajnah Bahsul Masa’il NU,
Dewan Hisbah Persis, dan lain-lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005.
Usman, Suparman. Hukum
Islam .
Jakarta
: Gaya Media Pratama. 2000.
Ali, Mohammad. Hukum Islam. Jakarta : Rajawali Pers. 1998
Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya.Studi
Hukum
Islam.
Surabaya:IAIN Sunan Ampel Press. 2011
[2]
Prof.H. Mohammad Daud Ali, S.H. Hukum Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2005. Hlm.297
[3]Prof.Dr.H.Suparman Usman ,S.H, Hukum Islam , Jakarta :
Gaya Media Pratama , 2000 , h.147
[4]Ibid
, h.149
[5]H.Mohamad
Ali, Hukum Islam , Jakarta : RajawaliPers : 1998 , h.336
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[11]
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, studi
hukum islam, 2011, IAIN Sunan Ampel Press : Surabaya hal 319-320
[13]
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, studi
hukum islam, 2011, Surabaya : IAIN
Sunan Ampel Press hal : 324-328
[14]
Ibid hal 336-341
Tidak ada komentar:
Posting Komentar