BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Setiap
hari kita membuat sejumlah keputusan mengenai bagaimana mengalokasikan sumber
daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Misalnya, kita harus memilih penggunaan
waktu untuk bangun tidur terlambat atau makan pagi, untuk baca koran atau
menonton televisi. Kita juga harus memilih penggunaan uang kita untuk membeli
barang atau jasa yang kita butuhkan. Dalam menentukan pilihan, kita harus
menyeimbangkan antara kebutuhan, preferensi, dan ketersediaan sumber daya alam.
Keputusan seseorang untuk memilih
alokasi sumber daya alam inilah yang melahirkan fungsi permintaan. Dalam
ekonomi konvensional , konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh
kepuasan (utility) dalam kegiatan
komsumsinya. Utility secara bahasa
berarti berguna (usefulness), membantu
(helpfulness), atau menguntungkan (advantage). Dalam konteks ekonomi,
utilitas dimaknai sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen
ketika mengonsumsi sebuah barang.
Keguanaan ini juga bisa dirasakan sebagai rasa “tertolong” dari suatu
kesulitan karena mengonsumsi barang tersebut. Karena adanya rasa inilah, maka
sering kali utilitas dimaknai juga sebagai rasa puas atau kepuasan yang
dirasakan oleh seorang konsumen dalam mengonsumsi sebuah barang. Jadi, kepuasan
dan utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang
ditimbulkan oleh utilitas.
Jika menggunakan teori konvesional,
konsumen disumsikan selalu menginginkan tingkat kepuasan yang tinggi. Konsumen
akan memilih mengonsumsi barang A atau B pada tingkat kepuasan yang diberikan
oleh kedua barang tersebut. Ia akan
memilih barang A jika memberikan kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan B,
demikian sebaliknya. Masalah selanjutnya adalah mungkinkah konsumen mengonsumsi
barang tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, dia akan melihat dana atau
anggaran yang dimiliki. Kalau ternyata dana yang dimiliki memadai untuk
membelinya, maka ia akan membeli, jika tidak, maka ia tidak akan membelinya.
Kemungkinan, ia akan mengalokasikan anggarannya untuk membeli barang lain yang
kepuasannya, maksimal tetapi terjangkau oleh anggarannya.
Konsumsi yang islami selalu
berpedoman pada ajaran islam. Di antara ajaran yang penting berkaitan dengan
konsumsi, misalnya perlunya memerhatikan orang lain. Dalam hadis disampaikan
bahwa setiap Muslim wajib membagi, makanan yang telah dimasaknya kepada
tetangganya yang merasakan bau dari makanan tersebut. Selanjutnya juga,
diharamkan bagi seorang Muslim hidup dalam keadaan serba berkelebihan sementara
ada tetangganya yang menderita kelaparan. Hal lain adalah tujuan konsumsi itu
sendiri, dimana seorang Muslim mempertimbangkan mashalahah daripada utilitas. Pencapain mashalahah merupakan tujuan dari syariat islam (maqashid syariah), yang tentu saja harus
menjadi tujuan dari kegiatan konsumsi
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan konsumsi?
2. Apa
yang saja konsep konsumsi menurut Islam?
3. Apa
saja prinsip kosumsi dalam Islam?
4. Apa
saja sasaran konsumsi dalam Islam?
5. Bagaimana
konsep maslahah dalam konsumsi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Konsumsi
Dalam kehidupan sehari-hari, konsumsi seringkali dihubungkan pada
masalah makanan dan minuman, sesungguhnya tidak sesempit itu pengertian
konsumsi, mengendarai sepeda motor juga merupakan kegiatan konsumsi, karena
akan mengurangi nilai guna sepeda motor. Konsumsi adalah suatu kegiatan manusia
yang secara langsung menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya
dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan yang berakibat mengurangi ataupun
menghabiskan nilai guna suatu barang/jasa. Contoh dari kegiatan konsumsi antara
lain: makan, minum, naik kendaraan umum, menonton film di bioskop.[1]
B.
Konsep
Penting dalam Konsumsi menurut Islam
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas
dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat).
Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala
dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam
prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi)
dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam
diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu
yang diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang
untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi
itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas
juga diatur dalam ekonomi Islam.[2]
a)
Kebutuhan (Hajat)
"manusia adalah makhluk yang
tersusun dari berbagai unsur, baik ruh, akal, badan maupun hati. Unsur-unsur
ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang lain. Misalnya, kebutuhan
manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja,
namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan juga
berdampak pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu,
Islam mensyaratkan setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat
bagi seluruh unsur tubuh".[3]
Ungkapan di atas hendaknya menjadi
perhatian kita, bahwa tidak selamanya sesuatu yang kita konsumsi dapat memenuhi
kebutuhan hakiki dari seluruh unsur tubuh. Maksud hakiki di sini adalah
keterkaitan yang positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas terstruktur
dari unsur tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya
disfungsi bahkan kerusakan pada salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu
bukanlah kebutuhan hakiki manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan
minum-minuman keras, memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.
Selain itu, dalam kapasitasnya
sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani kewajiban membangun dan
menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus berkembang yang
menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan penggunaan
sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting pengembangan potensi
manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar.
Sehingga, kebutuhan dalam prespektif Islam adalah, keinginan manusia
menggunakan sumber daya yang tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya
dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan isinya.
b)
Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)
Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan menyatu
dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai perasaan rela yang
diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela yang dimaksud di
sini adalah kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan pendapatannya pada
berbagai jenis barang dengan tingkat harga yang berbeda.
Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di atas,
yaitu pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi
antar satu dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang untuk membeli suatu
barang sangat tergantung pada pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara
keduanya akan menciptakan kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan prilaku
konsumsi itu sendiri. Konsumen yang rasional selalu membelanjakan pendapatannya
pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga tertentu demi mencapai batas
kerelaan tertinggi.
Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan terminologi
yang dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah berbeda? Beberapa ayat
al-Qur’an[4]
mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan terwujudnya
kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna
tertinggi pada sebuah barang yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu
waktu. Bahkan lebih dari itu, barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya.
Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah
dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa
dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan
cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak
berpotensi mendatangkan dampak negatif di kemudian hari.
C.
Prinsip
Konsumsi dalam Islam
1. Tauhid
(Unity/Kesatuan)
Dalam perspektif islam,
kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, sehingga
senantiasa berada dalam hukum Allah (syariah). Karena itu, orang mukmin
berusaha mencari kenikmatan dengan menaati perintah-Nya dan memuaskan dirinya
sendiri dengan barang-barang dan anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat
manusia.Adapun dalam pandangan kapitalitas, konsumsi merupakan dari keinginan,
nafsu, harga barang, dan pendapatan, tanpa memedulikan dimensi spritual,
kepentingan orang lain, dan tanggung jawab atas segala prilakunya, sehingga
pada ekonomi konvensional manusia diartikan sebagai individu yang memiliki
sifat homo economicus.[5]
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.”(QS. Adz-Dzaariyat: 56)
2. Adil
(Equilibrium/Keadilan)
Islam memperbolehkan manusia untuk
menikmati berbagai karunia kehidupan dunia yang disediakan Allah SWT.[6]
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terbaik di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan: karena
sesungguhnya setan itu ialah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah;
168)
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-Nya dan (siapa
pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang0orang
yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.
Demikianlah kami menjelakan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS.
al-A’Raaf; 32)
Pemanfaatan atas karunia Allah tersebut
harus dilakukan secara adil sesuai dengan syariah, sehingga disamping
mendapatkan keuntungan materil, ia juga sekaligus merasakan kepuasan spiritual.
Al-Qur’an secara tegas menekankan norma perilaku ini baik untuk hal-hal yang
bersifat materiil maupun spiritual untuk menjamin adanya kehidupan yang
berimbang antara kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karenanya, dalam islam
konsumsi tidak hanya barang-barang yang bersifat duniawi semata, namun juga
untuk kepentingan di jalan Allah (fisabilillah).
“Dan jika kami hendak membinasakan
suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di
negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi karena melakukan kedurhakaan dalam
negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan
Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”(QS.
al-Israa: 26)
3. Free
(Kehendak Bebas )
Alam semesta merupakan milik Allah,
yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya dan kesempurnaan atas
makhluk-makhluk-Nya. Manusia diberi kekuasaan untuk mengambil keuntungan dan
manfaat sebanyak-banyanknya sesuai dengan kemampuannya atas barang-barang
ciptaan Allah. Atas segala karunia yang diberikan oleh Allah, manusia dapat
berkendak bebas, namun kebiasaan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas
adri qadha dan qadar yang merupukan hukum
sebab akibat yang didasarkan pada prngrtahuan dan kehendak Allah.
Sehingga kebebasan dalam melakukan aktivitas haruslah tetap memiliki batasan
agar jangan sampai menzalimi pihal lain. Hal inilah yang tidak terdapat dalam
ekonomi konvesional, sehingga yang terjadi kebebasan yang dapat mengakibatkan
pihak lain menjadi menderita.[7]
4. Amanah
(Responsibility/Pertanggungjawaban)
Manusia merupakan khalifah atau pengemban amanat
Allah. Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakn tugas dan kekhalifahan ini
dan utnuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya atas ciptaan
Allah. Dalam hal melakukan konsumsi, manusia dapat berkendak bebas tetapi akan
mempertanggungjawabkan atas kebebasan tersebut baik terhadap keseimbangan alam,
masyarakat, diri sendiri maupun di akhirat kelak. Pertanggungjawaban sebagi
seorang muslim bukan hanya kepada Allah SWT namun juga kepada lingkunganan. Jika
ekonomi konvensional, baru mengenal istilah corporate
social reponsibility, maka ekonomi islam telah mengenalnya sejak lama.[8]
5. Halal
Dalam kerangka acuan islam, barang-barang yang dapat
dikonsumsi hanyalah barang-barang yang menunjukkan nilai-nilai kebaikan,
kesucian, keindahan, serta akan menimbulkan kemashalatan untuk umat baik secara
materiil maupun spiritual. Sebaliknya, benda-benda yang buruk, tidak suci
(najis), tidak bernilai,tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat sebagai
barang-barang konsumsi dalam islam serta dapat menimbulkan kemudaratn apabila
dikonsumsi akan dilarang.[9]
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, dagung babi, dan bintang yang (ketika disembelih) disebut
selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melamaui batas, maka tidak ada disa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS.
Al-Baqarah:173)
6. Sederhana
Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui batas
(israf), termasuk pemorosan dan berlebih-lebihan (bermewah-mewah), yaitu
membuang-buang harta dan menghabur-hamburkannya tanpa faedah serta manfaat dan
hanya memperturutkan nafsu semata. Allah akan sangat mengcam setiap perbuatan
melampaui batas.[10]
7.
Kebersihan
Prinsip yang kedua ini menghendaki makanan yang dikonsumsi harus baik atau
cocok untuk dimakan tidak kotor atau menjijikan sehingga merusak selera,
sekaligus Rosulullah SAW mencontohkan untuk menjaga kebersihan sesuai dengan
sabdanya “makanan diberkahi jika kita
mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (Tarmidzi, Mishkat)
Selanjutnya, Jabir meriwayatkan Abu Hamid membawa segelas susu dari Naqi.
Rasulullah berkata kepadanya “Mengapa tidak kau tutup gelas itu?letakanlah
sepotong kayu diatasnya” (Bukhori). Kemudian ia meriwayatkan dengan bersumber
dari Jabir, Rasulullah SAW bersabda “ Sebelum tidur, matikan lampu, tutup pintu
dan tutupilah makanan dan minuman”.
Hadis hadis diatas menjelaskan bagaimana Islam memerintahkan untuk senantiasa menjaga kebersihan makanan.[11]
Hadis hadis diatas menjelaskan bagaimana Islam memerintahkan untuk senantiasa menjaga kebersihan makanan.[11]
8. Moralitas
Selain hal-hal teknis diatas Islam juga memperhatikan
pembangunan moralitas sepritual bagi manusia hal tersebut dapat digambarkan
dengan printah agama yang mengajarkan untuk senantiasa menyebut nama Allah dan
bersukur atas karunianya, maka hal tersebut secara tidak langsung akan membawa
dampak psikologis bagi pelakunya seperti anti makanan haram baik zat maupun
cara mendapatkannya maupun ketenangan jiwa.[12]
D.
Sasaran
Konsumsi bagi Konsumen Muslim[13]
1. Konsumsi
untuk diri sendiri dan keluarga
Tidak dibenarkan konsumsi yang dilakukan oleh
seseorang berakibat pada penyengsaraan diri dan keluarga karena kekikirannya.
Allah SWT melarang pula perbuatan kikir sebagaimana. Allah SWT telah melarang
perbuatan pemborosan dan berlebih-lebihan.
2. Tabungan
Manusia harus menyiapkan masa depannya, karena masa
depan merupakan masa yang tidak diketahui keadaannya. Dalam ekonomi penyiapan
masa depan dapat dilakukan dengan melalui tabungan.
3. Konsumsi
sebagai tanggung jawab sosial
Menurut ajaran Islam, konsumsi yang ditujukan
sebagai tanggung jawab sosial ialah kewajiban mengeluarkan zakat. Hal ini
dilakukan untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan ekonomi. Islam sangat
melarang penumpukan harta, yang akan berakibat terhentinya arus peredaran
harta, merintangi efisiensi usaha, dan peryukaran komoditas produksi dalam
perekonomian.
E.
Konsep
Maslahah Konsumen Muslim
Maslahah
menurut Shatibi, adalah pemilikan atau kekuatan dari barang atau jasa yang
memelihara prinsip dasar dan tujuan hidup manusia di dunia. Shatibi telah
mendeskripsikan lima kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi aksisnya
kehidupan manusia di dunia, yaitu :[14]
1. Kehidupan
2. Kekayaan
3. Keimanan
4. Akal
5. Keturunan
Seluruh barang dan jasa yang akan
mempertahankan kelima elemen ini disebut Maslahah bagi manusia. Seluruh
kebutuhan tidak sama pentingnya. Ada tiga tingkatan kebutuhan :
1. Tingkatan
dimana kelima elemen diatas mendasar untuk dilindungi
2. Tingkatan
dimana kelima elemen tersebut adalah pelengkap yang menguatkan perlindungan
mereka
3. Tingkatan
dimana kelima elemen tersebut merupakan kesenangan atau keindahan.
Kandungan
maslahah terdiri dari manfaat dan berkah. Demikian pula dalam hal perilaku
konsumsi, seorang konsumen akan mempertimabangkan manfaat dan berkah yang
dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen merasakan adanya manfaat suatu
kegiatan konsumsi ketika ia mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis
atau material. Disisi lain, berkah akan diperolehnya ketika ia mengonsumsi
barang atau jasa yang dihalalkan oleh syariat islam. Mengkonsumsi yang halal
saja merupakan kepatuhan kepada Allah, karenanya memperoleh pahala. Pahala
inilah yang kemudian dirasakan sebagai berkah dari barang atau jasa yang telah
dikonsumsi. Misalnya, ketika seseorang menonton televisi di pagi hari maka ia
bisa memilih chanel mengenai berita politik dan hukum, berita kriminal, film
kartun, hiburan musik atau siaran lainnya. Setiap jenis siaran tersebut
dirancang untuk mampu memberikan manfaat bagi penontonnya, baik berupa layanan
informasi dan kepuasan psikis. Tambahan informasi dan kepuasan psikis inilah
yang merupakan maslahah duniawi. Disisi lain, kegiatan menonton ini
dimungkinkan memberikan berkah yang positif atau negatif tergantung jenis
tontonan dan tujuannya. Misalnya, ketika seseorang menonton berita yang
mengungkap aib dan keburukan seseorang tanpa tujuan yang benar, maka berarti ia
telah mendorong dilakukannya ghibah yang dilarang oleh islam. Oleh karena itu,
ia akan memperoloeh dosa (berkah yang negatif) meskipun ia mendapatkan kepuasan
psikis. Namun, jika ia memilih menonton acara televisi yang menayangkan berita
yang baik, maka ia akan mendapatkan kedua-duanya, yaitu psikis dan berkah
positif sekaligus.[15]
BAB
III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa dalam islam
terdapat babarapa etika yang harus ditaati oleh setiap konsumen muslim dalam
aktifitas konsumsinyan agar aktifitas konsumsi yang dilakukan tisdak merugikan
pihak lain dan dengan syariat islam yang berlaku :
1.
Tauhid
2.
Memenuhi prinsip keadilan
3.
Free will (kehendak bebas)
4.
Amanah (aspek pertanggung jawaban)
5.
Halal
6.
Sederhana
Dalam
menjelaskan konsumsi, dasumsikan bahwa seorang konsumen cenderung memilih
barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan
prinsip rasionalitas Islam bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin
meningkatkan maslahah yang diperolehnya. Seorang konsumen muslim mempunyai
keyakinan bahwasanya kehidupan tidak hanya di dunia semata, namun terdapat pula
kehidupan di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Arif, M. Nur Rianto,dkk. 2010. Teori Mikroekonomi Suatu Perbandingan Ekonomi
Islam dan Ekonomi Konvensional. Jakarta: Kencana.
Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta. 2008. Ekonomi Islam.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
[3] Prof. Dr. Syauqi Muhammad Dunya (Guru
Besar Jurusan Ekonomi Islam Universitas King Abdul Aziz Jeddah)
[5] M.Nur Rianto,dkk.Teori
Mikroekonomi.Kencana.Jakarta.2010. hlm.87
[6] Ibid,hlm.88
[7] Ibid. Hlm.89
[8] Ibid. Hlm.90
[9] Ibid. Hlm. 90
[10] Ibid. Hlm. 91
[12]
ibid
[13] M.Nur Rianto,dkk.Teori Mikroekonomi.Kencana.Jakarta.2010.
hlm.92
[14] Ibid. Hlm 97
[15] Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta. Ekonomi Islam. Rajawali Pers.
Jakarta. 2008. Hlm 129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar