Selasa, 14 Februari 2012

QIRO’ATUL QUR’AN


QIRO’ATUL QUR’AN
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas matakuliah
Studi Al-Qur’an


                                            Dosen Pembimbing : Drs. M. Sumarkan, M.Hd.



                                                                    Disusun oleh :
                                                 1.    Bela Adien F. (C74211156)
                                                 2.    Diana Irma S. (C74211157)

                                                         FAKULTAS SYARIAH
                                                 JURUSAN EKONOMI SYARIAH
                      INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
                                                              TAHUN 2011

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
    Salah satu cabang ilmu Al-Qur’an adalah Qiro’atul Qur’an, hal ini seperti yang kita ketahui Al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Quraisy yang mana merupakan bahasa persatuan bangsa Arab. Namun, meskipun demikian bangsa Arab terdiri dari berbagai suku yang memiliki ciri-ciri atau perbedaan dalam dialek (lahjah) antara suku yang satu dengan suku yang lain. Hal ini dikarenakan perbedaaan kondisi alam, seperti letak geografis, dan juga sosio kultural dari masing-masing suku. Perbedaan dialek inilah yang juga menimbulkan lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan Al-Qur’an.
    Namun, seperti yang kita ketahui ilmu Qiro’atul Qur’an tidak banyak dipelajari, hanya kalangan tertentu saja yang mempelajarinya seperti kalangan akademisi. Hal tersebut disebabkan karena ilmu ini tidak mempelajari masalah yang berkaitan dengan aspek kehidupan manusia. Namun, ilmu ini merupakan ilmu yang bermanfaat dalam menggali, menjaga, dan mengajarkan berbagai “cara membaca” Al-Qur’an yang sesuai dengan anjuran Rasulullah. Dan hal lain yang tidak kalah penting adalah pengetahuan tentang qira’ah berperan penting dalam memahami perbedaan penafsiran terhadap Al-Qur’an. Sehingga dalam makalah ini akan dibahas tentang Qiro’atul Qur’an.
B.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian Qira’atul Qur’an?
2.    Apa saja yang melatarbelakangi timbulnya perbedaan dalam Qira’atul Qur’an
3.    Bagaimanakah pembagian qira’at, macam-macamnya, dan syarat sahnya qira’at, serta manfaat adanya perbedaan qira’at?
4.    Dan apa keterkaitan Qira’atul Qur’an dengan Istinbath hukum?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN QIRA’AT
Menurut bahasa (etimologi), qira’at adalah jama’ dari kata qira’at dan merupakan isim masdar dari kata qara-a, yang berarti bacaan. Dengan demikian qira’at adalah bacaan atau cara  membaca. [Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2011, hlm. 192]
Sedangkan menurut istilah qira’at ialah salah satu aliran dalam mengucapkan Al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam quro’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam hal ucapan Al-Quranul Karim. Qira’atini berdasarkan sanand-sanadnya sampai kepada Rasulullah S.A.W. [Mohammad Aly Ash Shabuny, Pengantar Studi Al-Qur’an, Bandung, PT Alma’rif, 1984, hlm. 316] Namun, pengertian qira’at bermacam-macam menurut para Ulama. Berikut ini akan diberikan beberapa pengertian qira’at menurut istilah :
1.    Menurut az-Zarqani, qira’at adalah suatu madhhab yang dianut seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an Al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya. [ Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2011, hlm 192]
2.    Menurut az-Zarkashi, qira’at adalah perbedaan cara mengucapkan lafaz-lafaz al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya. [Dr. Rosihin Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, 2006, hlm 147]
3.    Menurut Ibn al-Jazari, Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan menyandarkan kepada penukilnya. [ Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2011, hlm 193]
4.    Menurut al-Qasthalani , qira’at adalah suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan. [Dr. Rosihin Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, 2006, hlm 147]

B.    LATAR BELAKANG TIMBULNYA PERBEDAAN QIRA’AH
1.    Latar Belakang Historis
Ada dua perbedaan pendapat yang memepermasalahkan tentang kapan tepatnya qira’at itu diturunkan, pendapat itu antara lain :
Qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah. [Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2011, hlm. 196]
Qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, di mana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Nasa’i, Turmudhi, Abu Daud, dan Malik meriwayatkan dari Umar ibn Khattab, bahwa Rasulullah bersabda :
“Bahwa sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf (bacaan), maka bacalah yang kalian anggap mudah dari ketujuh bacaan tersebut.” [ Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2011, hlm. 196]
Dan seperti yang kita tahu periodesasi qurro’ telah ada sejak masa sahabat hingga masa tabi’in. Orang-orang yang ahli Qur’an menerimanya dari orang-orang yang dapat dipercaya, dan orang-orang yang dapat dipercaya tersebut mendapatkannya dari imam, dan dari imam mendapatkannya dari sahabat, hingga akhirnya semuanya berasal dari Rasulullah SAW.
Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat di dalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. [M. Ali Ash-Shabuny, Pengantar Studi Al-Qur’an, Bandung, PT. Alma’rif, 1984, hlm. 317] Periwayatan dan Talaqqi ( si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang thiqqah dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira’at al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya [ Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2011, hlm 197] Diantara sahabat yang populer dengan bacaannya adalah : Ubay, Aly, Zaid ibnu Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ary, dan lain-lain. [M. Ali Ash-Shabuny, Pengantar Studi Al-Qur’an, Bandung, PT. Alma’rif, 1984, hlm. 317]
Para sahabat dalam hal pengambilan qira’ah sendiri dari Rasulullah berbeda-beda, ada yang membaca satu huruf, ada yang dua huruf/bacaan, ada pula yang lebih. Kemudian mereka berpencar ke daerah-daerah dengan keadaan bahwa qira’at mereka berbeda satu sama lain, mereka menyebarluaskannya kepada tabi’in. Sehingga terjadilah perbedaan qira’ah masing-masing tabi’in karena mereka mengambil qira’ah dari sahabat yang berebeda pula.
Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qira’at yang termashur, yang mengkhususkan diri dalam qira’ah-qira’ah tertentu dan mengajarkan qira’ah mereka masing-masing. [Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2011, hlm 199]
Itulah sejarah timbulnya qiro’ah dan macam-macamnya sekalipun ada perbedaan, itu hanya berkisar pada hal yang ringan dibanding dengan jumlah yang disepekatinya, sebagimana dimaklumi. Dan perbedaan ini masih dalam batasan-batasan huruf sab’ah di mana Al-Qur’an diturunkan dari Allah.[M. Ali Ash-Shabuny, Pengantar Studi Al-Qur’an, Bandung, PT. Alma’rif, 1984, hlm. 318]
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan ilmu qira’at. Kata Sayuthy, orang pertama yang mengarang masalah qira’at ialah Abu Ubaid Al Qain bin Salim, sudah itu Abu Ja’far bin Jarir At Thabariy, sudah itu Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar Al Dajuniy, sudah itu Abubakar bin Mujahid, sudah itu ada orang-orang lain baik yang hidup di masanya maupun sesudahnya menyusun bermacam-macam jama’ dan mufrad, meringkaskan  dan memperluas. Kini ahli-ahli qira’at itu tidak terhitung-hitung jumlahnya. [Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Rineka Cipta, 1993, hlm.190]
2.    Latar Belakang Cara Penyampaian (kafiyat al ada’)
Perbedaan qira’at dilihat dari segi cara penyampaian ada beberapa perbedaan. Hal ini terjadi akibat salah satu atau beberapa sebab berikut : [Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1992, hlm110]
•    Perbedaan dalam i’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat. Misalnya pada firman Allah yang berbunyi :

...mereka yang kikir dan menyuruh orang yang berlaku kikir... (Q.S. Ali Imran ayat 180)
Kataالبخل yang berarti kikir di sini bisa dibaca fathah pada huruf Ba’-nya sehingga menjadi bi al-bakhli, bisa pula dibaca dengan dhammah pada huruf Ba’-nya sehingga menjadi bi al-bukhli.
•    Perbedaan pada i’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya. Misalnya pada firman Allah yang berbunyi :

...Wahai Tuhan kami, jauhkanlah jarak perjalanan kami (Q.S Saba’ ayat 19)
Kata yang diterjemahkan menjadi “jauhkanlah” di atas adalah kata بَاعِدَkarena statusnya sebagai Fi’il Amar. Boleh juga dibacaبَاعَدَ yang berarti kedudukannya menjadi Fi’il Madhi, sehingga bila diIndonesiakan, kata itu menjadi “jauh”.
•    Perbedaan pada perubahan huruf tanpa berubah i’rab dan bentuk tulisannya, sementara maknanya berubah. Misalnay firman Allah:

..Lihatlah tulang belulang, bagaimana Kami menyusunnya kembali.(Q.S. Al-Baqarah, ayat 259)
Kataنُنْشِزُهَا (Kami menyusunnya kembali) yang ditulis dengan huruf Zay diganti dengan huruf Ra’ (ر) sehingga menjadi berbunyiنُنْشِرُهَاyang berarti “Kami hidupkan kembali”.
•    Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi tanpa perubahan maknanya. Misalnya pada firman Allah:
“Dan gunung-gunung bagaikan bulu-bulu yang bertebaran..(Q.S. Al-Qari’ah ayat 5)
Beberapa qira’at mengganti kataكَالْعِهْنِ denganكَالصُّوْفِ, sehingga yang mulanya bermakan “bulu-bulu” berubah menjadi “bulu-bulu domba”. Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma’ ulama tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan Mushhaf Utsmaniy.
•    Perbedaan pada kalimat di mana bentuk dan maknanya berubah pula. Misalnya pada kata: menjadi
•    Perbedaan pada mendahulukan kata dan mengakhirinya. Misalnya pada firman Allah yang berbunyi:

“Dan datanglah sakaratulmaut dengan sebenar-benarnya” (Q.S. Qaf, ayat 19)
Konon, menurut suatu riwayat, Abu Bakar pernah membacanya menjadi: . Abu Bakar menggeser kata Al-Maut ke belakang, sementara kata Al-Haq ia majukan ke tempat yang ia geser ke belakang. Setelah mengalami pergeseran ini, bila kalimat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “ Dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian”. Qira’at semacam ini, juga tidak bisa dipakai, karena jelas menyalahi ketentuan yang berlaku.
•    Perbedaan dengan menambah atau mengurangi huruf, seperti pada firman Allah:

Kataمِنْ dalam ayat ini dibuang. Dan pada ayat serupa yang tanpaمِنْ justru ditambah.

C.    PENYEBAB PERBEDAAN QIRA’AT
Sebab-sebab munculnya beberapa qira’at yang berbeda, antara lain :
1.    Perbedaan qiraat nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, nabi memakai beberapa versi qiraat. Misalnya nabi pernah membaca surat as-Sajadah ayat 17 sebagai berikut :
 Pada kata (ة)dalam ayat ini, nabi membaca dengan “ta” ( ت )biasa.[http://pintania.wordpress.com/qiraatul-quran/]
2.    Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu, hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Qur’an. Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta hin”. Padahal ia menghendaki “hatta hin” ( [Dr. Rosihin Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, 2006, hlm 157]
3.    Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa turunnya al-Qur’an. [Ibid, hlm.157]
4.    Perbedaan syakh, harakah atau huruf. Contohnya pada surat al-Baqarah ayat 222.

Kata yang digaris bawahi bisa dibaca “yathurna” dan bisa dibaca “yatthoh-har-na”. jika dibaca qiraat pertama, maka berarti : “dan jangalah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka suci (berhenti dari haidh tanpa mandi terlebih dahulu). Sedangkan  qiraat kedua berarti: “dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka bersuci (berhenti dari haidh dan telah mandi wajib terlebih dahulu.”[http://pintania.wordpress.com/qiraatul-quran/]


D.    SYARAT-SYARAT SAHNYA QIRA’AT DAN MACAM-MACAM QIRA’AT
1.    Syarat-syarat Sahnya Qira’at
Sebelum kita mengetahui macam-macam qira’at, kita perlu mengetahui syarat-syarat sahnya qira’at yang menentukan diterima atau tidaknya sebuah qira’at.
Kriteria atau syarat-syaratnya adalah sebagai berikut : [Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, Bandung, PT Remaja Rosdakarya,1992, hlm. 106]
a.    Mutawattir, yaitu qira’at yang diturunkan dari beberapa orang dan tidak mungkin terjadi kebohongan.
b.    Sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
c.    Sesuai dengan tulisan Mushhaf Utsman.
d.    Mempunyai sanad yang sahih.
2.    Macam-macam Qira’at
a.    Macam-macam Qira’at dari Segi Kuantitas atau Jumlah [M. Aly Ash-Shabuny, Pengantar Studi Al-Qur’an, Bandung, PT. Alma’arif, 1996, hlm. 320]
•    Qira’at Sab’ah (Qira’at Tujuh)
Qira’at sab’ah (tujuh) adalah qira’at yang dinisbatkan kepada imam yang tujuh dan terkenal, yaitu :Nafi’, ‘Ashim, Hamzah, Abdullah bin Amir, Abdullah ibnu Katsir, Abu ‘Amer ibnu ‘Ala’ dan Ali Al-Kisaiy.
•    Qira’at ‘Asyar (Qira’at Sepuluh)
Qira’at ‘asyar adalah qira’at yang tujuh ditambah dengan qira’at, Abi Ja’far, Ya’cub, dan Khalaf.
•    Qira’at Arba’ ‘Asyar (Qira’at Empat Belas)
Qira’at arba’ ‘asyar yaitu qira’at yang sepuluh ditambah dengan empat qira’at; Hasan Al-Bashry, Ibnu Mahish, Yahya Al-Yazidy, dan Asy-Syambudzy.
b.    Macam-macam Qira’at dari Segi Kualitas
•    Qira’at Mutawattir
Qira’at mutawattir adalah qira’at yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin terjadi kesepakatan di antara mereka untuk berbuat kebohongan. [Tim Penysun MKD, Studi Al-Qur’an, Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2011, hlm. 202] Qadhi Jalaluddin Al-Bulqiny menyatakan bahwa qira’at tujuh adalah qira’at mutawattir.
•    Qira’at Masyhur
Qira’at masyhur adalah qira’at yang sanadnya sahih karena diriwayatkan oleh tokoh yang adil, dhabith (memepunyai ketelitian tulisan atau hafalan yang baik), sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan sesuai dengan tulisan Mushhaf Utsman. Selain itu, qira’at bisa dikatakan masyhur juga mempunya riwayat yang berasal dari qari’ yang tsiqat, dan qari’ yang terkenal di kalangan para qari’ lainnya. Yang membedakan qira’at masyhur dan qira’at mutawattir hanya pada derajatnya yang tidak memenuhi kriteria riwayat yang mutawattir. [Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, Bandung, PT Remaja Rosdakarya,1992, hlm. 108] Misalnya ialah qira’at yang diperdebatkan periwayatannya dari imam qira’at sab’ah, di mana sebagian ulama meyakini bahwa qira’at itu diriwayatkan dari salah satu imam qira’at sab’ah dan sebagian lagi mengatakan bukan dari mereka. Qira’at mutawattir dan qira’at masyhur boleh digunakan dalam membaca Al-Qur’an dan shalat.
•    Qira’at Ahad
Qira’at Ahad yaitu tidak sah sanadnya. Berlain-lainan bentuk hurufnya. Atau tidak karuan bahasa Arabnya, atau tidak termasyhur. Yang begini tidak boleh dibaca.
•    Qira’at Shaz
Qira’at Shaz adalah qira’at yang sanadnya tidak sahih. Yakni tidak memenuhi persyaratan yang diminta untuk keabsahan sebuah qira’at. Misalnya tidak mutawattir, atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau tidak sesuai dengan tulisan Mushhaf Utsman. [Ibid, hlm 108] Qira’at ini tidak boleh digunakan dalam membaca Al-Qur’an maupun dalam shalat.
•    Qira’at Maudhu’
Qira’at ini hanya dinisbatkan kepada orang yang mengucapkannya tanpa asal-usul yang pasti dan bahkan tanpa asal-usul sama sekali. Misalnya qira’at yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Ja’far al-Khuza’i dan ia mengatakannya bersumber dari Abu Hanifah, padahal bukan. [Ibid, hlm.109] Ini juga tidak boleh digunakan dalam membaca Al-Qur’an maupun dalam shalat.
•    Qira’at Shabih bi al-Mudraj
Qira’at Shabih bi al-Mudraj adalah qira’at yang menyerupai kelompok Mudraj dalam hadith, yakni qira’at yang telah memperoleh sisipan atau tambahan kalimat yang merupakan tafsir dari ayat tersebut. Contohnya bacaan qira’at Ibnu Abbas. [Tim Penysun MKD, Studi Al-Qur’an, Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2011, hlm. 204] Qira’at ini juga tidak dapat digunakan dalam membaca Al-Qur’an maupun shalat.
c.    Macam-macam Qira’at Berdasarkan Kemuttawattiran Qira’at [Ibid, hlm 204-205]
•    Qira’at yang telah disepakati kemuttawattirannya tanpa ada perbedaan pendapat di antara para ahli qira’at, yaitu para imam qira’at yang tujuh orang (Qira’at Sab’ah)
•    Qira’at yang diperselisihkan oleh para ahli qira’at tentang kemuttawattirannya, namun menurut pendapat yang sahih dan mashhur, bahwa qira’at tersebut meuttawattir, yaitu qira’at para imam qira’at yang tiga (Imam Abu Ja’far, Imam Ya’qub, dan Imam Khalaf).
•    Qira’at yang disepakati ketidakmuttawattirannya (qira’at shaz), yaitu qira’at selain dari qira’at para imam yang sepuluh (qira’at Asharah).
Seperti halnya di dalam menetapkan hukum syara’ ulama beristinbathkepada riwayat-riwayat yang bersanad sahih, demikian pula di dalam penerimaan sebuah qira’at. Sesuatu qira’at hanya bisa diterima apabila terbukti bernarasumber (diambil dari sumber utama) dari generasi sebelumnya melalui belajar membaca qira’at tersebut-cara ini dikenal dengan istilah musyafahah, mendengar, sehingga sanad-nya benar-benar menyambung dengan sahabat Rasulullah SAW yang mengambil (belajar) qira’at pada Rasulullah SAW. Dengan sanad meyambung ini dengan Rasulullah ini membuat para ulama menganggap qira’at-qira’at yang dapat diterima itu tauqifiy. Artinya bukan dibikin oleh tokoh tertentu dan bahkan buatan Rasulullah sendiri. Tetapi datang dari dan sesuai dengan yang diajarkan Allah kepada Rasulullah melalui Jibril a.s.[Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, Bandung, PT Remaja Rosdakarya,1992, hlm. 106]
Dengan diyakininya qira’at sebagai sesuatu yang tauqifiy, maka anggapan qira’at itu ikhtiariyah (ditetapkan melalui prose ijtihad) tidak dapat diterima oleh ulama-ulama qira’at. Mereka mebantah, misalnya anggapan Al-Zamakhasyariy yang mengatakan bahwa qira’at merupakan produk tokoh-tokoh yang fasih membaca Al-Qur’an dan mempunyai kemampuan berbahasa yang baik. [Ibid, hlm. 106]

E.    MANFAAT ADANYA PERBEDAAN QIRA’AT [Tim Penysun MKD, Studi Al-Qur’an, Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2011, hlm. 213]
1.    Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Quran.
2.    Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya Al-Qur’an dari perubahan dan penyimpanagn, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3.    Dapat menjelaskan hal-hal yang mungkin masih global atau samar dalam qira’at lain, baik qira’at itu mutawattir, mashhur, ataupun shadh.
4.    Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap qira’at menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafaz.
5.    Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah.
6.    Mendukung autentisitas Al-Qur’an, karena akan terhindar dari cara baca yang menyimpang.
7.    Perbedaan qira’at bisa berakibat pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata yang melahirkan perbedaan makna dan pengaruhnya kepada hukum yang diproduksinya.
8.    Fleksibilitas terhadap pembacaan Al-Qur’an oleh Nabi SAW pada masanya antara lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Karena itu pada masa kinipun, fleksibilitas yang sama harus tersedia dalam pemahaman dan penafsiran firman Tuhan sejalan dengan kebutuhan Muslim saat ini.
F.    KETERKAITAN QIRO’ATUL QUR’AN TERHADAP ISTINBATH HUKUM
Istinbath hukum dapat diartikan sebagai upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Hal ini tidak terlepas dari ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat hukum ialah ayat-ayat Al-Qura’n yang mengatur dan berkaitan dengan tingkah laku dan perbuatan manusia secara lahir. Ada ayat-ayat hukum yang termasuk ibadah yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan ada ayat hukum yang termasuk muamalah yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia lain secara horisontal. [http://dewinina.wordpress.com/2008/11/22/ilmu-qiraat/]
Perbedaan qira’at seperti yang kita tahu bisa disebabkan oleh perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata. Yang pada akhirnya perbedaan-perbedaan itu menyebabkan pula perbedaan arti yang berpengaruh terhadap istinbath hukum.
Misal perbedaan qira’at pada surat Al-Maidah ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”
Berdasarkan ayat di atas, sebagian ulama memahami wajib membasuh kedua kaki dan sebagian lain membedakan dengan menyapunya. Nadi’, Ibnu Amr, dan Al Kisai membaca ارجلكمdengan nasb (fathah lam). Sedangkan Ibnu Katsir, Abu Amir, dan Hamzah membaca dengan jarr (kasrah lam).
Dengan demikian dapat dikatakan besarnya pengaruh perbedaan qira’at dalam proses penetapan hukum. Sebagian qira’at berfungsi sebagai penjelasan kepada ayat yang mujmal (bersifat global) menurut qira’at lain atau penafsiran dan penjelasan terhadap maknanya. Bahkan, tidak jarang, perbedaan qira’at menimbulkan perbedaan penetapan hukum di kalangan ulama. Menurut Musthafa Sa’id Al-Khinn penyebab pertama timbulnya perbedaan pendapat para ulama adalah qira’at. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang berbagai qira’at sangat perlu bagi seorang yang akan mengistinbath hukum dan menafsirkan ayat-ayat Alquran.[http://dewinina.wordpress.com/2008/11/22/ilmu-qiraat/]


BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan-penejlasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan tentang Qira’atul Qur’an, antara lain :
1.    Qira’atul Qur’an memiliki definisi yaitu salah satu cabang ilmu Al-Qur’an yang berarti perbedaan cara melafadzkan Al-Qur’an baik perbedaan menyangkut hurufnya maupun cara melafadzkan huruf-huruf di dalam Al-Qur’an.
2.    Latar belakang timbulnya perbedaan qira’at ada dua macam yaitu:
a.    Latar belakang historis
b.    Latar belakang cara penyampaiannya
3.    Penyebab perbedaan qira’at ada beberapa macam, yaitu :
a.    Perbedaan qiraat nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, nabi memakai beberapa versi qiraat.
b.    Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu, hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Qur’an.
c.    Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa turunnya al-Qur’an.
d.    Perbedaan syakh, harakah atau huruf.
4.    Syarat-syarat sahnya qira’at, yaitu :
a.    Mutawattir, yaitu qira’at yang diturunkan dari beberapa orang dan tidak mungkin terjadi kebohongan.
b.    Sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
c.    Sesuai dengan tulisan Mushhaf Utsman.
d.    Mempunyai sanad yang sahih.
5.    Macam-macam Qira’at, antara lain:
a.    Menurut jumlahnya :
•    Qira’at Sab’ah (Qira’at Tujuh)
•    Qira’at ‘Asyar (Qira’at Sepuluh)
•    Qira’at Arba’ ‘Asyar (Qira’at Empat Belas)
b.    Menurut kualitasnya :
•    Qira’at Mutawattir
•    Qira’at Masyhur
•    Qira’at Ahad
•    Qira’at Shadz
•    Qira’at Maudhu’
•    Qira’at Shabih bi al-Mudraj
c.    Qira’at Berdasarkan Kemuttawattiran Qira’at
•    Qira’at yang telah disepakati kemuttawattirannya tanpa ada perbedaan pendapat di antara para ahli qira’at.
•    Qira’at yang diperselisihkan oleh para ahli qira’at tentang kemuttawattirannya, namun menurut pendapat yang sahih dan mashhur, bahwa qira’at tersebut mutawattir.
•      Qira’at yang disepakati ketidakmuttawattirannya (qira’at shaz).
6.    Manfaat Perbedaan Qira’at
a.    Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Quran.
b.    Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya Al-Qur’an dari perubahan dan penyimpanagn, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
c.    Dapat menjelaskan hal-hal yang mungkin masih global atau samar dalam qira’at lain, baik qira’at itu mutawattir, mashhur, ataupun shadh.
d.    Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap qira’at menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafaz.
e.    Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah.
f.    Mendukung autentisitas Al-Qur’an, karena akan terhindar dari cara baca yang menyimpang.
g.    Perbedaan qira’at bisa berakibat pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata yang melahirkan perbedaan makna dan pengaruhnya kepada hukum yang diproduksinya.
h.    Fleksibilitas terhadap pembacaan Al-Qur’an oleh Nabi SAW pada masanya antara lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Karena itu pada masa kinipun, fleksibilitas yang sama harus tersedia dalam pemahaman dan penafsiran firman Tuhan sejalan dengan kebutuhan Muslim saat ini.
7.    Keterkaitan Qira’at terhadap Istinbath Hukum
Perbedaan antara satu qiraat dan qiraat lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk katam susunan kalimat, I’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah tentu memiliki sedikit atau banyak perbedaan makna yang selanjutnya berpengaruh terhadap hukum yang diistinbathkannya.


DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. Studi Al-Qur’an. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press. 2011
Marzuki, Kamaluddin. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 1992
Quthan, Mana’ul. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an I. Jakarta : Rineka Cipta. 1993
Ash-Shabuny, M. Ali. Pengantar Studi Al-Qur’an. Bandung : PT Alma’arif. 1984
Anwar, Rosihin.Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia. 2006
http://pintania.wordpress.com/qiraatul-quran/
http://dewinina.wordpress.com/2008/11/22/ilmu-qiraat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar