Selasa, 06 Agustus 2013

KOMPILASI DAN KODIFIKASI HUKUM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap agama memiliki ajaran dan penyampai ajaran tersebut. Ajaran ini diterima, dicatat, dan diabadikan. Lebih penting lagi, ajaran agama harus dipraktekkan. Suatu ajaran tidak bisa dipraktekkan tanpa pemahaman. Dalam memahami ajaran Islam, diperlukan studi hukum Islam. Begitu pemahaman telah diperoleh, ternyata prakteknya tidak mudah. Praktek ini berhadapan dengan realitas sosial. Untu mempermudah prakteknya, perlu studi hukum Islam. Dengan demikian, studi hukum Islammengantarkan umat Islam dalam memahami ajaran Islam. Yang pertama menggunakan Ilmu Ushul Fikih dan yang terakhir memerlukan Ilmu Fikih. Kedua ilmu ini merupakan studi hukum Islam.
Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang kompilasi dan kodifikasi hukum Islam serta lembaga-lembaga fatwa yang berkembang di Indonesia. Hal ini sangat penting karena dalam agama tidak terlepas dari masalah aturan atau hukum yang dijalankan bagi pemeluk aga Islam itu sendiri, dan untuk dijadikan sebuah kajian yang dapat mengembangkan ilmu dan pengetahuan bagi umat Islam.

B.     Permasalahan
a.       Apa pengertian dari kodifikasi dan kompilasi Hukum Islam?
b.      Apa perbedaan dari dari kodifikasi dengan kompilasi Hukum Islam?
c.       Apa saja lembaga fatwa yang dimiliki oleh pemerintah dan bagaimana kedudukannya dalam hukum Islam?

C.     Tujuan
a.       Memenuhi tugas makalah matakuliah Studi Hukum Islam
b.      Menambah pengetahuan tentang Hukum Islam pada umumnya dan tentang Kompilasi dan Kodifikasi Hukum Islam pada khususnya.
c.       Menambah pengetahuan tentang lembaga fatwa yang dimiliki pemerintah atau organisasi masyarakat dan kedudukannya dalam hukum Islam.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kompilasi dan Kodifikasi Hukum Islam
1.      Kompilasi
a.      Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Dalam bahasa Inggris terdapat istilah Compilation of Law atau Himpunan Undang-undang. Selain itu Compilation dpat diartikan sebagai book (buku)atau corpus (Nicchols dan Shadiliy, 175:b123). Dengan perkataan lain, kompilasi merupakan suatu koleksi. Kata ‘kompilasi’ berasal dari latin campilare, (dalam bahasa inggris berarti to heap together atau menghimpun menjadi satu kesatuan) (Tony smith, 2000: 235). Dari rumusan-rumusan tersebut, dapat diartikan bahwa kompilasi merupakan himpuna materi hukum dalam satu buku, atau lebih tepat lagi himpunan kaidah islam yang disusun secara sistematis selengkap mungkin dengan rumusan kalimat atau pasal-pasal yang lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan. [1]
Sehingga dapat disimpulkan, kompilasi hukum Islam, yakni kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun secdara sistematis yang terdiri dari tiga buku.[2]
b.      Sejarah Pengkompilasian Hukum Islam
Implementasi hukum Islam bagi umat Islam kadang-kadang  menimbulkan pemahaman yang berbeda. Hukum Islam yang diterapkan di Pengadilan Agama cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat para ulama dalam hamper setiap persoalan[3]. Disamping itu kadang-kadang masih adanya kerancuan dalam memahami fiqh , yang dipandang sebagai hukum yang harus diberlakukan, bukan sebagai pendapat (doktrin, fatwa) ulama yang dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Dalam menyusun kompilasi ini pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan sangat diperhatikan oleh panitia, terutama mengenai hal-hal yang termasuk ke dalam kategori ijtihadi.
Di sisi lain penyusunan KHI (sebagai norma hokum yang akan diterapkan di Indonesia) ada kaitannya dengan pemenuhan komulasi dimensi horizontal dan transcendental. Sebab pada akhirnya hokum itu hanya mungkin berlaku efektif dalam masyarakat (aplikasi dimensi horizontal), apabila hokum itu mencerminkan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tempat hokum itu diberlakukan. Apabila ada produk hukum yang tidak sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia (terutama oleh umat Islam, yang merupakan jumlah mayoritas), maka konsekuensinya, hokum itu pasti tidak akan bisa dilaksanakan, sebagaimana seharusnya hokum berlaku. Sebaliknya apabila hokum itu mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang hidup dalam masyarakat , maka hokum itu akan mudah diterima dan dilaksanakan oleh mereka . Karena pada dasarnya penegakan hokum dan keadilan tergantung kepada tiga komponen pokok, yaitu (1) diperlukan adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, (2) adanya aparat penegak hukum yang professional dan bermental tangguh atau memiliki integritas moral yang tinggi, (3) adanya kesadaran hokum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hokum tersebut[4].
Jadi lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), merupakan rangkaian lanjutan dalam upaya penyajian referensi materi hukum Islam yang seragam bagi semua hakim di lingkungan Peradilan Agama dan instansi terkait, khususnya bidang HukumPerkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum Perwakafan .Landasan Yuridis lahirnya KHI kembali pada rumusan tentang perlunya hakim memperhatikan kesadaran hokum masyarakat sebagaimana diisyarat kan oleh pasal 27 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 yang berbunyi :
Hakim sebagai penegak hokum dan keadilan wajib menggali , mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,
Selain landasan yuridis, KHi juga disusun berdasarkan landasan fungsional . KHI adalah fiqh Indonesia yang disusun dengan memperhatikan kondisi kebtuhan hokum umat islamIndonesia, ia bukan merupakan madzab baru, tapi ia mengarah kepada menyatukan (unifikasi) berbagai pendapat madzhab dalam hukum Islam, dalam rangka upaya menyatukan persepsi para hakim tentang hukum Islam , menuju kepastian hokum bagi umat Islam .
Sejak dikeluarkannya instruksi presiden dan Keputusan Menteri Agama tersebut, berarti KHI telah memperoleh kekuatan dan bentuk yuridis untuk digunakan dalam praktek di pengadilan agama, atau oleh instansi pemerintah lainnya dan masyarakat yang memerlukan dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam bidang yang telah diatur oleh KHI adalah bidang hokum perkawinan , hokum kewarisan dan hokum perwakafan yang sistematisnya adalah sebagai berikut :
Ø  Buku I tentangHukumPerkawinan : 170 pasal (pasal 1 s.d. 170)
Ø  Buku II tentangHukumKewarisan : 44 pasal (pasal 171 s.d. 214)
Ø  Buku III tentangHukumPerwakafan : 15 pasal (pasal 215 s.d. 229)
Kalau pasal-pasal kompilasi hukum Islam tersebut dipelajari dengan seksama , segera terasa bahwa isinya selain mengandung garis-garis hokum atau bagian-bagian hukum Islam yang sudah meresap ke dalam dan menjadi kesadaran hokum masyarakat muslim, juga mengandung hal hal baru yang bercorak Indonesia, misalnya untuk menyebut sekedar contoh ahli waris pengganti , wasiat wajib untuk anaka ngkat .
Dari uraian tersebut di atas , dapat juga disimpulkan bahwa sumber penyusunan hukum Islam dalam kompilasi ini selain (1) wahyu yang terdapat dalam Alquran, (2) Sunnah Rasulullah yang terdapat dalam kitab kitab hadis juga, (3) ra’yu (akal pikiran) melalui ijtihad yang tercemin dalam kitab-kitab fiqih, pendapat para ulama Indonesia,  yurisprudensi Peradilan Agama, hasil studi perbandingan negara-negara lain, serta peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dan perwakafan tanah milik di Indonesia[5]
2.      Kodifikasi Hukum Islam
Dalam Bahasa Latin, code atau codex berarti “a systematically arranged and comprehensive collection of lawsyang berarti himpunan peraturan hukum secara lengkap yang disusun secara sistimatik. Maka kodifikasi (codification, codificatie,) berarti perbuatan atau pekerjaan mengkodifikasikan atau menghimpun hukum atau peraturan ke dalam suatu kitab hukum secara sistematik (to systematize and arrange (laws and regulations) into a code).[6]
Fockema Andreas mengartikan bahwa codificatie adalah: “Het samensellen en invoeren van systimatisch ingerichte wetboeken (codices) voor rechtsgebieden van enige omvang.” (menyusun dan membawa masuk secara teratur dan sistimatik ke dalam kitab undang-undang dalam bidang hukum dengan ruang lingkup yang luas).[7]
M.J. Koenen dan J.B. Drewes mengartikan codificatie sebagai vereniging van verschillende voorschriften tot een wet; het opstellen van een wetboek (menyatukan berbagai peraturan ke dalam suatu undang-undang; menyusun kitab undang-undang).
Henry Campbell Black mengartikan bahwa: codification adalah the process of collecting aand arranging systematically, usually by subject, the laws of a state or country, or the rules and regulations covering a particular area or subject of law or practice.... The product may be called a code, revised code or revised statute. (proses mengumpulkan dan menyusun secara sistematik hukum-hukum negara atau peraturan dan regulasi yang mencakup bidang tertentu atau subyek (isi) hukum atau praktik, yang  biasanya menurut subyek (isi)nya.[8]
Dari berbagai kutipan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kodifikasi adalah proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik berbagai hukum, regulasi atau peraturan di bidang tertentu yang ditetapkan oleh negara. Produk dari kegiatan kodifikasi dapat berupa kitab undang-undang.
Ø  Asal Usul Kodifikasi
Mengkodifikasikan undang-undang merupakan salah satu kegiatan pembangunan hukum yang merujuk kepada produk hukum abad ke 18 dan 19, yang ditandai dengan lahirnya Kodifikasi Napoleon yang diikuti dengan berbagai kodifikasi di Jerman, Belanda, Italia, dan Indonesia. Namun, sebenarnya kegiatan para ilmuwan hukum di bidang kodifikasi telah ada sejak zaman Imperirum Romawi, jauh sebelum Masehi.
Dalam filsafat hukum alam yang berlatar belakang Plato dan Aristoteles terdapat semacam teori bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja berdasarkan pada perjanjian yang dibuat dengan rakyat, yang intinya rakyat bersedia menyerahkan hak-hak mereka pada raja, setelah mereka bersepakat terlebih dahulu (pactum subjectionis) .Sebelum perjanjian itu dibuat mereka sepakat lebih dahulu bahwa hak-hak mereka telah diserahkan kepada koltivitas (pactum unionis).Sebelum paham hukum alam itu dikembangkan oleh Hobbes, Locke dan Rousseau yang sering dihormati sebagai bapak verdragstheorie, hukum rumawi yang membentuk hukum dengan memperhtikan faktor-faktor atau kondisi moral, politik, dan sosiologi masyarakat. Hukum Rumawi yang religious dan agraris uyang dituangkan dalam normatif yuridis, dalam arti hukum dipandang sebagai norma. Sejak awal sampai akhir, perkembangan hukum Rumawi adalah bersandarkan kodifikaasi, yaitu yang dimulai dengan kodifikasi yang disebut twaalftafelen (meja atau batu hukum dua belas) dan diakhiri juga dengan kodifikasi yaitu  yang disebut Corpus Iuris Civilis.
Menurut Djoklosoetono, kodifikasi terbesar sepanjang sejarah hukum yang tidak ada bandingannya sampai sekarang, terjadi akibat adanya dua lapisan rakyat (standen) yang disebut Res Mancipi dan Emancipatio, yang diwujudkan dengan kelompok (golongan) patriciers dana golongan plebeyers yang selalu terjadi konflik karena tidak ada persamaan hak. Golongan patriciers menguasai.
3.      Perbedaan Kodifikasi dengan Kompilasi
Secara teknis yuridis kedua istilah tersebut agak sulit dibedakan. Namun dengan memperhatikan definisi tentang compilation dapat diketahui kata tersebut berarti “a bringing together of preexisting statutes in the form in which they appear in the books, with the removal of sections which have been repealed and the substitution of amendments in arrangement designed to facilitate their use.” (membawa bersama-sama undang-undang yang ada sebelumnya dalam format yang muncul dalam buku, dengan menghapus bagian-bagian yang telah dicabut dan penggantian dari perubahan dengan susunan yang didesain untuk menfasilitasi pemakaiannya). Jadi kompilasi dilaksanakan terhadap berbagai aturan yang sudah ada sebelumnya (preexisting statutes) dengan menjelaskan bagian mana (pasal atau paragraf) yang sudah dicabut berikut substitusi (penggantian)nya.
Dari berbagai definisi di atas terlihat bahwa kodifikasi pada dasarnya bukanlah membuat undang-undang atau peraturan yang baru melainkan mengumpulkan dan menyusun peraturan yang sudah ada di bidang tertentu secara sistimatik. Namun dalam perpestif sejarah, seperti akan diuraikan di bawah ini, terdapat kesan bahwa kodifikasi berarti membentuk suatu undang-undang atau peraturan.
B.     Lembaga Fatwa
1.      Pemikiran Hukum Islam dalam Lembaga-lembaga Keagamaan
Indonesia tidak mengenal jabatan mufti dan lembaga fatwa negara. Ketiadaan lembaga fatwa resmi memberikan berbagai implikasi, antara lain ketidakpastian suatu masalah dilihat dari sudut hukum Islam sehingga sering membuat bingung masyarakat dan negara.
Tahun-tahun terakhir ini, pertanyaan tentang hukum Islam semakin ramai ditanyakan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sekarang telah melebar dan berskop nasional. Penyebarannya terutama dibantu oleh berbagai media masa elektronik dan tulis melalui acara atau rubrik tanya-jawab agama untuk umum. Variasi pertanyaan ini menunjukkan minat masyarakat yang semakin besar terhadap hukum Islam dan kesadaran masyarakat untuk menjadikan hukum Islam sebagai norma pengatur kehidupan.
Kesan umum yang tampak dari acara tanya-jawab ini, setiap orang dapat memberikan fatwa, padahal fatwa seharusnya hanya diberikan oleh orang yang ahli dalam bidang hukum Islam. Mufti sebenarnya adalah kata lain dari mujtahid atau pengungkap dan perumus hukum Islam. Mufti dan mujtahid terkenal adalah empat atau lima imam mazhab yang berkembang di dunia Islam sampai saat ini: Imam Maliki, Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hanbali dan Imam Jafari (Syiah).
Indonesia tidak mengenal jabatan dan lembaga fatwa resmi. Pada tingkat nasional, di negeri ini terdapat Komisi Fatwa MUI, dan pada tingkat keormasan Islam terdapat lembaga fatwa seperti Lajnah Tarjîh Muhammadiyah, Lajnah Bahsul Masa’il NU, Dewan Hisbah Persis, dan lain-lain.[9]
Untuk mengetahui pemikiran hukum dalam lembaga keagamaan, perlu penelusuran fatwa-fatwa yang dikeluarkan lembaga yang bersangkutan. Melalui fatwa, latar belakang pemikiran yang melandasi suatu keputusan hukum dapat digali. Ada empat organisasi pembuatan fatwa yang akan akan ditelusuri : persatuan islam (persis), nahdhatul ulama (NU), muhammadiyah, dan majelis ulama Indonesia (MUI).
a.      Persatuan islam (persis)
Sebagai organisasi Islam, Persis mempunyai tujuan utama untuk memberlakukan hukum Islam di tengah masyarakat, sebagaimana tuntunan Al-Quran dan Hadis di masyarakat.
Menurut Tafsir Qanun Asasi Persis, pada mulanya Persis, yang terbentuk dan berdiri pada masa penjajahan kolonial Belanda itu, tidaklah didasarkan atas suatu kepentingan atau kebutuhan masyarakat pada masa itu. Para pendirinya mendirikan organisasi ini karena terpanggil oleh kewajiban dan tugas risalah dari Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW berdiri di atas bukit Shafa untuk menyatakan kerasulannya tidaklah berdasarkan atas kepentingannya.
Menurut Dadan Wildan, para pendiri Persis menilai bahwa masyarakat Islam Indonesia ketika itu tidak membutuhkan suatu perombakan tatanan kehidupan keislaman. Namun, mereka melihat bahwa sebagian besar umat Islam telah tenggelam dalam ‘buaian’ taklid, jumud, khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, dan paham-paham sesat lainnya. Karena itu, tulis Wildan, Persis berdiri atas dasar kewajiban terhadap tugas Ilahi untuk mengubah kemandekan berpikir dan membuka ketertutupan pintu ijtihad.[10]
Fatwa-fatwa persis mayoritas merupakan karya tokoh pendirinya, yaitu ahmad Hassan (1887-1958). Karyanya sering direpresentasikan sebagai “agresif”, “pluritan”, dan “ekstrim”. Ia menolak kompromi dan negosiasi. Ia juga menggunakan kata “bodoh” dan “pembohong” untuk menggambarkan para penentangnya. Dalam fatwa-fatwanya, ia menyajikan sebuah contoh “literalisme” murni. “literalisme” yang dimaksud adalah metode pembacaan ahmad Hassan terhadap teks-teks dasar agama yang mengandung syariat (sumber dasar), fiqih, bahasa, dan hadis. Dua hal yang terakhir merupakan hal utama dalam pandangan persis. Tentu saja ada keterkaitan antar bahasa dan hadis : tata bahasa dan etimologi merupakan fondasi, sementara hadis adalah perangkat riwayat lisan dan tulisan.[11]

b.      Muhammadiyah
Organisasi ini berdiri pada 1912 dengan bagian yang mewadahi perempuan, yaitu aisyiyah yang berdiri pada 1918. Organisasi ini mulai mengeluarkan fatwa pada 1927. Muhammadiyah mendasarkan islam pada ijtihad, tetapi mereka memahami konsep ini secara agak berbeda.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi.[12]
 Dasar-dasar ideology muhammadiyah terletak pada gagasan tentang tujuan syariah, yakni hukum yang memiliki tujuan, objek yang harus diidentifikasi, dan diimplimentasikannya. Tujuannya adalah kepentingan umum dalam pengertian yang luas. Namun tidak seperti ideology-ideologi sekuler, muhammadiyah dibatasi oleh al-qur’an dan sunnah serta keterbatasan akal. Dalam hal ini, logika yang menyertai wahyu, sehingga seseorang harus bekerja dalam batasan-batasan wahyu. Karena itu, muhammadiyah tidak terkooptasi oleh madzab tertentu.
Untuk mencapai fatwa, muhammdiyah berusaha menggabungkan beberapa unsure. Pertama, sumber utama adalah al-qur’an dan sunnah. Kedua, ketika masalah tidak dapat diidentifikasi dengan jelas, sejumlah metode dapat digunakan untuk menemukan kemaslahatan, tetapi tidak boleh menurunkan derajat sumber utama. Ketiga, qiyas hanya bisa diterapkan pada lingkungan baru dan tidak dapat digunakan untuk menjatuhkan peraturan yang ada.  Keempat, istihsan, yakni pinsip kebenaran yang dapat ditemukan dengan akal. Kelima istishlah, kepentingan umum. Keenam, mencegah sarana-sarana untuk melakukan tindakan yang salah.[13]

c.       Nahdlatul ulama (NU)
NU berdiri pada 1926. NU mempunyai sejarah yang panjang mengenai fatwa. Fatwa-fatwa tersebut dikeluarkan bagi para warga NU dan bersifat mengikat secara teori. NU member perhatian terhadap metedo yang benar dalam mengeluarkan fatwa.

d.      Majelis Ulama Indonesia (MUI)
MUI berdiri pada 1975 atas inisiatif pemerintah. Tujuannya adalah menegakkan dan mengontrol ekspresi publik tentang islam di bawah bantuan Negara (dalam hal ini, departemen agama).
MUI adalah organisasi tingkat nasional. MUI memiliki kepengurusan dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten, hingga kecamatan. Secara teori, MUI di propinsi merupakan subordinat dari kebijakan yang dibuat pada tingkat nasional. Tujuannya adalah untuk menciptakan keseragaman skala nasional dalam ekspresi praktis ajaran islam. Kenyataannya, MUI propinsi tidak jarang bertindak atas inisiatifnya sendiri.
a.       Dasar-dasar fatwa adalah :
Ø  Al-Qur’an
Ø  Sunnah
Ø  Ijma’
Ø  Qiyas
b.      Pembahasan masalah yang memerlukan fatwa harus mempertimbangkan :
ü  Dasar-dasar fatwa merujuk ke atas.
ü  Pendapat para imam mazhab mangenai hukum islam dan pendapat para ulama terkemuka diperoleh melalui penelitian terhadap penafsiran Al-qur’an.
ü  Pembahasan yang merujuk keatas adalah metode untuk menentukan penafsiran mana yang lebih kuat dan bermanfaat sebagai fatwa bagi masyarakat islam.
ü  Ketika suatu masalah yang memerlukan fatwa tidak dapat dilakukan seperti prosedur di atas, maka harus ditetapkan dengan penafsiran dan pertimbangan (ijtihad).
c.       Mereka yang mempunyai  otoritas untuk menangani fatwa adalah sebagai berikut :
1)      MUI Pusat berkaitan dengan :
a)      Masalah keagamaan yang bersifat umum dan berkaitan dangan masyarakat islam Indonesia secara umum.
b)      Masalah keagamaan yang relevan dengan wilayah tertentu yang dianggap dapat diterapkan diwilayah lain.
2)      MUI tngkat propinsi berkaitan dengan masalah keagamaan yang sifatnya local dan kasus kedaerahan, tetapi setelah berkonsultasi dengan MUI Pusat dan Komisi Fatwa.
d.      Siding komisi fatwa harus dihindari para anggot komisi fatwa yang telah diangkat pimpinan pusat MUI dan pimpinan MUI propinsi dengan kemungkinan mengundang para ahli jika dianggap perlu.
e.       Sidang komisi fatwa harus diselenggarakan ketika :
Ø  Ada pemerintah atau kebutuhan yang dianggap MUI memerlukan fatwa.
Ø  Permintaan atau kebutuhan tersebut bisa dari pemerintah, lembaga-lembaga social, dan masyarakat atau MUI sendiri.
f.       Sesuai dengan aturan sidang komisi fatwa, bentuk fatwa yang berkaitan dengan masalah tertentu harus diserahkan ketua komisi fatwa kepada ketua MUI nasional dan propinsi.
g.      Pimpinan pusat MUI nasional / propinsi akan merumuskan kembali fatwa itu kedalam bentuk sertifikat keputusan penetapan fatwa.
Sumber–sumber fatwa diatur secara hierarkis, seperti dalam komisi fatwa nasional dan propinsi. Pada praktiknya, fatwa MUI bersandar terutama kepada al-qur’sn hadist yang disertakan dalam beberapa kasusus, tetapi tdak semuanya dengan rujukan kepada kitab-kitab fikih.[14]
  


BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan di atas tentang kompilasi dan kodifikasi Hukum Islam serta lembaga fatwa, dapat disimpulkan beberapa hal, kompilasi hukum Islam yakni kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun secdara sistematis yang terdiri dari tiga buku.
Sedangkan kodifikasi Hukum Islam kodifikasi adalah proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik berbagai hukum, regulasi atau peraturan di bidang hukum Islam yang ditetapkan oleh negara. Produk dari kegiatan kodifikasi dapat berupa kitab undang-undang.
Indonesia tidak mengenal jabatan dan lembaga fatwa resmi. Pada tingkat nasional, di negeri ini terdapat Komisi Fatwa MUI, dan pada tingkat keormasan Islam terdapat lembaga fatwa seperti Lajnah Tarjîh Muhammadiyah, Lajnah Bahsul Masa’il NU, Dewan Hisbah Persis, dan lain-lain.



DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005.
Usman, Suparman. Hukum Islam . Jakarta : Gaya Media Pratama. 2000.
Ali, Mohammad. Hukum Islam. Jakarta : Rajawali Pers. 1998
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya.Studi Hukum Islam. Surabaya:IAIN Sunan Ampel Press. 2011





[2] Prof.H. Mohammad Daud Ali, S.H. Hukum Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005. Hlm.297
[3]Prof.Dr.H.Suparman Usman ,S.H, Hukum Islam , Jakarta : Gaya Media Pratama , 2000 , h.147
[4]Ibid , h.149
[5]H.Mohamad Ali, Hukum Islam , Jakarta : RajawaliPers : 1998 , h.336
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[11] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, studi hukum islam, 2011, IAIN Sunan Ampel Press : Surabaya hal 319-320
[13] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, studi hukum islam, 2011, Surabaya :  IAIN Sunan Ampel Press hal : 324-328
[14] Ibid hal 336-341

Tidak ada komentar:

Posting Komentar