Kamis, 19 Juli 2012

Prinsip Konsumsi dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap hari kita membuat sejumlah keputusan mengenai bagaimana mengalokasikan sumber daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Misalnya, kita harus memilih penggunaan waktu untuk bangun tidur terlambat atau makan pagi, untuk baca koran atau menonton televisi. Kita juga harus memilih penggunaan uang kita untuk membeli barang atau jasa yang kita butuhkan. Dalam menentukan pilihan, kita harus menyeimbangkan antara kebutuhan, preferensi, dan ketersediaan sumber daya alam.
            Keputusan seseorang untuk memilih alokasi sumber daya alam inilah yang melahirkan fungsi permintaan. Dalam ekonomi konvensional , konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan (utility) dalam kegiatan komsumsinya. Utility secara bahasa berarti berguna (usefulness), membantu (helpfulness), atau menguntungkan (advantage). Dalam konteks ekonomi, utilitas dimaknai sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen ketika mengonsumsi sebuah barang.  Keguanaan ini juga bisa dirasakan sebagai rasa “tertolong” dari suatu kesulitan karena mengonsumsi barang tersebut. Karena adanya rasa inilah, maka sering kali utilitas dimaknai juga sebagai rasa puas atau kepuasan yang dirasakan oleh seorang konsumen dalam mengonsumsi sebuah barang. Jadi, kepuasan dan utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang ditimbulkan oleh utilitas.

 
            Jika menggunakan teori konvesional, konsumen disumsikan selalu menginginkan tingkat kepuasan yang tinggi. Konsumen akan memilih mengonsumsi barang A atau B pada tingkat kepuasan yang diberikan oleh kedua barang tersebut. Ia  akan memilih barang A jika memberikan kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan B, demikian sebaliknya. Masalah selanjutnya adalah mungkinkah konsumen mengonsumsi barang tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, dia akan melihat dana atau anggaran yang dimiliki. Kalau ternyata dana yang dimiliki memadai untuk membelinya, maka ia akan membeli, jika tidak, maka ia tidak akan membelinya. Kemungkinan, ia akan mengalokasikan anggarannya untuk membeli barang lain yang kepuasannya, maksimal tetapi terjangkau oleh anggarannya.
            Konsumsi yang islami selalu berpedoman pada ajaran islam. Di antara ajaran yang penting berkaitan dengan konsumsi, misalnya perlunya memerhatikan orang lain. Dalam hadis disampaikan bahwa setiap Muslim wajib membagi, makanan yang telah dimasaknya kepada tetangganya yang merasakan bau dari makanan tersebut. Selanjutnya juga, diharamkan bagi seorang Muslim hidup dalam keadaan serba berkelebihan sementara ada tetangganya yang menderita kelaparan. Hal lain adalah tujuan konsumsi itu sendiri, dimana seorang Muslim mempertimbangkan mashalahah daripada utilitas. Pencapain mashalahah merupakan tujuan dari syariat islam (maqashid syariah), yang tentu saja harus menjadi tujuan dari kegiatan konsumsi
B.                 Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan konsumsi?
2.      Apa yang saja konsep konsumsi menurut Islam?
3.      Apa saja prinsip kosumsi dalam Islam?
4.      Apa saja sasaran konsumsi dalam Islam?
5.      Bagaimana konsep maslahah dalam konsumsi?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Konsumsi
Dalam kehidupan sehari-hari, konsumsi seringkali dihubungkan pada masalah makanan dan minuman, sesungguhnya tidak sesempit itu pengertian konsumsi, mengendarai sepeda motor juga merupakan kegiatan konsumsi, karena akan mengurangi nilai guna sepeda motor. Konsumsi adalah suatu kegiatan manusia yang secara langsung menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan yang berakibat mengurangi ataupun menghabiskan nilai guna suatu barang/jasa. Contoh dari kegiatan konsumsi antara lain: makan, minum, naik kendaraan umum, menonton film di bioskop.[1]

B.                 Konsep Penting dalam Konsumsi menurut Islam
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.[2]
a)      Kebutuhan (Hajat)
"manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh, akal, badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja, namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur tubuh".[3]
Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak selamanya sesuatu yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur tubuh. Maksud hakiki di sini adalah keterkaitan yang positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan kerusakan pada salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras, memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan penggunaan sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting pengembangan potensi manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga, kebutuhan dalam prespektif Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya yang tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan isinya.
b)      Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)
            Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai perasaan rela yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela yang dimaksud di sini adalah kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga yang berbeda.
            Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di atas, yaitu pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi antar satu dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang sangat tergantung pada pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara keduanya akan menciptakan kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan prilaku konsumsi itu sendiri. Konsumen yang rasional selalu membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.
            Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan terminologi yang dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah berbeda? Beberapa ayat al-Qur’an[4] mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan terwujudnya kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah barang yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan lebih dari itu, barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
            Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak negatif di kemudian hari.
C.    Prinsip Konsumsi dalam Islam
1.  Tauhid (Unity/Kesatuan)
Dalam perspektif islam, kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, sehingga senantiasa berada dalam hukum Allah (syariah). Karena itu, orang mukmin berusaha mencari kenikmatan dengan menaati perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia.Adapun dalam pandangan kapitalitas, konsumsi merupakan dari keinginan, nafsu, harga barang, dan pendapatan, tanpa memedulikan dimensi spritual, kepentingan orang lain, dan tanggung jawab atas segala prilakunya, sehingga pada ekonomi konvensional manusia diartikan sebagai individu yang memiliki sifat homo economicus.[5]
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”(QS. Adz-Dzaariyat: 56)

2.      Adil (Equilibrium/Keadilan)
Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati berbagai karunia kehidupan dunia yang disediakan Allah SWT.[6]
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terbaik di bumi, dan janganlah  kamu mengikuti langkah-langkah setan: karena sesungguhnya setan itu ialah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah; 168)
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah:  “Semuanya itu (disediakan) bagi orang0orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah kami menjelakan ayat-ayat itu  bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. al-A’Raaf; 32)
      Pemanfaatan atas karunia Allah tersebut harus dilakukan secara adil sesuai dengan syariah, sehingga disamping mendapatkan keuntungan materil, ia juga sekaligus merasakan kepuasan spiritual. Al-Qur’an secara tegas menekankan norma perilaku ini baik untuk hal-hal yang bersifat materiil maupun spiritual untuk menjamin adanya kehidupan yang berimbang antara kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karenanya, dalam islam konsumsi tidak hanya barang-barang yang bersifat duniawi semata, namun juga untuk kepentingan di jalan Allah (fisabilillah).
“Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi karena melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”(QS. al-Israa: 26)
3.      Free (Kehendak Bebas )
Alam semesta merupakan milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya dan kesempurnaan atas makhluk-makhluk-Nya. Manusia diberi kekuasaan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyanknya sesuai dengan kemampuannya atas barang-barang ciptaan Allah. Atas segala karunia yang diberikan oleh Allah, manusia dapat berkendak bebas, namun kebiasaan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas adri qadha dan qadar yang merupukan hukum  sebab akibat yang didasarkan pada prngrtahuan dan kehendak Allah. Sehingga kebebasan dalam melakukan aktivitas haruslah tetap memiliki batasan agar jangan sampai menzalimi pihal lain. Hal inilah yang tidak terdapat dalam ekonomi konvesional, sehingga yang terjadi kebebasan yang dapat mengakibatkan pihak lain menjadi menderita.[7]

4.      Amanah (Responsibility/Pertanggungjawaban)
Manusia merupakan khalifah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakn tugas dan kekhalifahan ini dan utnuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya atas ciptaan Allah. Dalam hal melakukan konsumsi, manusia dapat berkendak bebas tetapi akan mempertanggungjawabkan atas kebebasan tersebut baik terhadap keseimbangan alam, masyarakat, diri sendiri maupun di akhirat kelak. Pertanggungjawaban sebagi seorang muslim bukan hanya kepada Allah SWT namun juga kepada lingkunganan. Jika ekonomi konvensional, baru mengenal istilah corporate social reponsibility, maka ekonomi islam telah mengenalnya sejak lama.[8]

5.    Halal
Dalam kerangka acuan islam, barang-barang yang dapat dikonsumsi hanyalah barang-barang yang menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian, keindahan, serta akan menimbulkan kemashalatan untuk umat baik secara materiil maupun spiritual. Sebaliknya, benda-benda yang buruk, tidak suci (najis), tidak bernilai,tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat sebagai barang-barang konsumsi dalam islam serta dapat menimbulkan kemudaratn apabila dikonsumsi akan dilarang.[9]
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, dagung babi, dan bintang yang (ketika disembelih) disebut selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melamaui batas, maka tidak ada disa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Baqarah:173)

6.      Sederhana
Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui batas (israf), termasuk pemorosan dan berlebih-lebihan (bermewah-mewah), yaitu membuang-buang harta dan menghabur-hamburkannya tanpa faedah serta manfaat dan hanya memperturutkan nafsu semata. Allah akan sangat mengcam setiap perbuatan melampaui batas.[10]

7.      Kebersihan
Prinsip yang kedua ini menghendaki makanan yang dikonsumsi harus baik atau cocok untuk dimakan tidak kotor atau menjijikan sehingga merusak selera, sekaligus Rosulullah SAW mencontohkan untuk menjaga kebersihan sesuai dengan sabdanya “makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (Tarmidzi, Mishkat)
Selanjutnya, Jabir meriwayatkan Abu Hamid membawa segelas susu dari Naqi. Rasulullah berkata kepadanya “Mengapa tidak kau tutup gelas itu?letakanlah sepotong kayu diatasnya” (Bukhori). Kemudian ia meriwayatkan dengan bersumber dari Jabir, Rasulullah SAW bersabda “ Sebelum tidur, matikan lampu, tutup pintu dan tutupilah makanan dan minuman”.
Hadis hadis diatas menjelaskan bagaimana Islam memerintahkan untuk senantiasa menjaga kebersihan makanan.[11]

8.      Moralitas
Selain hal-hal teknis diatas Islam juga memperhatikan pembangunan moralitas sepritual bagi manusia hal tersebut dapat digambarkan dengan printah agama yang mengajarkan untuk senantiasa menyebut nama Allah dan bersukur atas karunianya, maka hal tersebut secara tidak langsung akan membawa dampak psikologis bagi pelakunya seperti anti makanan haram baik zat maupun cara mendapatkannya maupun ketenangan jiwa.[12]

D.    Sasaran Konsumsi bagi Konsumen Muslim[13]
1.      Konsumsi untuk diri sendiri dan keluarga
Tidak dibenarkan konsumsi yang dilakukan oleh seseorang berakibat pada penyengsaraan diri dan keluarga karena kekikirannya. Allah SWT melarang pula perbuatan kikir sebagaimana. Allah SWT telah melarang perbuatan pemborosan dan berlebih-lebihan.

2.      Tabungan
Manusia harus menyiapkan masa depannya, karena masa depan merupakan masa yang tidak diketahui keadaannya. Dalam ekonomi penyiapan masa depan dapat dilakukan dengan melalui tabungan.

3.      Konsumsi sebagai tanggung jawab sosial
Menurut ajaran Islam, konsumsi yang ditujukan sebagai tanggung jawab sosial ialah kewajiban mengeluarkan zakat. Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan ekonomi. Islam sangat melarang penumpukan harta, yang akan berakibat terhentinya arus peredaran harta, merintangi efisiensi usaha, dan peryukaran komoditas produksi dalam perekonomian.

E.     Konsep Maslahah Konsumen Muslim
          Maslahah menurut Shatibi, adalah pemilikan atau kekuatan dari barang atau jasa yang memelihara prinsip dasar dan tujuan hidup manusia di dunia. Shatibi telah mendeskripsikan lima kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi aksisnya kehidupan manusia di dunia, yaitu :[14]
1.      Kehidupan
2.      Kekayaan
3.      Keimanan
4.      Akal
5.      Keturunan
          Seluruh barang dan jasa yang akan mempertahankan kelima elemen ini disebut Maslahah bagi manusia. Seluruh kebutuhan tidak sama pentingnya. Ada tiga tingkatan kebutuhan :
1.      Tingkatan dimana kelima elemen diatas mendasar untuk dilindungi
2.      Tingkatan dimana kelima elemen tersebut adalah pelengkap yang menguatkan perlindungan mereka
3.      Tingkatan dimana kelima elemen tersebut merupakan kesenangan atau keindahan.
          Kandungan maslahah terdiri dari manfaat dan berkah. Demikian pula dalam hal perilaku konsumsi, seorang konsumen akan mempertimabangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen merasakan adanya manfaat suatu kegiatan konsumsi ketika ia mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau material. Disisi lain, berkah akan diperolehnya ketika ia mengonsumsi barang atau jasa yang dihalalkan oleh syariat islam. Mengkonsumsi yang halal saja merupakan kepatuhan kepada Allah, karenanya memperoleh pahala. Pahala inilah yang kemudian dirasakan sebagai berkah dari barang atau jasa yang telah dikonsumsi. Misalnya, ketika seseorang menonton televisi di pagi hari maka ia bisa memilih chanel mengenai berita politik dan hukum, berita kriminal, film kartun, hiburan musik atau siaran lainnya. Setiap jenis siaran tersebut dirancang untuk mampu memberikan manfaat bagi penontonnya, baik berupa layanan informasi dan kepuasan psikis. Tambahan informasi dan kepuasan psikis inilah yang merupakan maslahah duniawi. Disisi lain, kegiatan menonton ini dimungkinkan memberikan berkah yang positif atau negatif tergantung jenis tontonan dan tujuannya. Misalnya, ketika seseorang menonton berita yang mengungkap aib dan keburukan seseorang tanpa tujuan yang benar, maka berarti ia telah mendorong dilakukannya ghibah yang dilarang oleh islam. Oleh karena itu, ia akan memperoloeh dosa (berkah yang negatif) meskipun ia mendapatkan kepuasan psikis. Namun, jika ia memilih menonton acara televisi yang menayangkan berita yang baik, maka ia akan mendapatkan kedua-duanya, yaitu psikis dan berkah positif sekaligus.[15]


BAB III
KESIMPULAN

                     Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa  dalam islam terdapat babarapa etika yang harus ditaati oleh setiap konsumen muslim dalam aktifitas konsumsinyan agar aktifitas konsumsi yang dilakukan tisdak merugikan pihak lain dan dengan syariat islam yang berlaku :
1.      Tauhid
2.      Memenuhi prinsip keadilan  
3.      Free will (kehendak bebas)
4.      Amanah (aspek pertanggung jawaban)
5.      Halal
6.      Sederhana
          Dalam menjelaskan konsumsi, dasumsikan bahwa seorang konsumen cenderung memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan prinsip rasionalitas Islam bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya. Seorang konsumen muslim mempunyai keyakinan bahwasanya kehidupan tidak hanya di dunia semata, namun terdapat pula kehidupan di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA

Al Arif, M. Nur Rianto,dkk. 2010. Teori Mikroekonomi Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional. Jakarta: Kencana.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.


[2] Situs resmi ponpes darussalam banyuwangi www.blokagung.net
[3] Prof. Dr. Syauqi Muhammad Dunya (Guru Besar Jurusan Ekonomi Islam Universitas King Abdul Aziz Jeddah)
[4] al-A’raf:188, Hud:34, Ghofir:80 dan al-Mu’minun:21
[5] M.Nur Rianto,dkk.Teori Mikroekonomi.Kencana.Jakarta.2010. hlm.87
[6] Ibid,hlm.88
[7] Ibid. Hlm.89
[8] Ibid. Hlm.90
[9] Ibid. Hlm. 90
[10] Ibid. Hlm. 91
[12] ibid
[13] M.Nur Rianto,dkk.Teori Mikroekonomi.Kencana.Jakarta.2010. hlm.92
[14] Ibid. Hlm 97
[15] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta. Ekonomi Islam. Rajawali Pers. Jakarta. 2008. Hlm 129

Tidak ada komentar:

Posting Komentar